Saya pernah dipancing tentang metodologi berpikir dalam al-Quran dan ilmu mainstream yang berkembang agar mengetahui perbedaan mendasar atas filsafat yang melatari keduanya.

Ilmu tentang makhluk yang dipelajari di dunia akademis meletakkan manusia sebagai observer dan melihat makhluk atas gejala empiriknya saja. Maka tak heran jika dalam ilmu ini, dikenal dengan lingkungan benda mati dan makhluk hidup. Yang makhluk hidup lantas dibagi menjadi beberapa bagian lagi sejauh penelitian yang ada. Maka dalam sudut pandang ini, makhluk yang tak kelihatan dianggap tidak ada dan peristiwa alam yang tidak sesuai dengan kaidah ilmu yang dirumuskan disebut sebagai anomali.

Sementara dalam logika Quran, dikenal ada Khaliq (pencipta) dan makhluq (ciptaan). Makhluk dibedakan menjadi 2: yang terlihat (dzhahir) dan yang tak terlihat (ghaib). Sebagaimana disebut dalam banyak ayat, semua makhluk Allah bertasbih memuji-Nya dan berbuat sesuai ketentuan-Nya. Artinya kehidupan ini sangat kompleks dalam tatanan kosmologi yang luar biasa rumitnya. Maka sebenarnya setiap peristiwa ini akan berkaitan dan terdapat hubungan sebab-akibat.

Maka jika hanya menggunakan ilmu modern, peristiwa gunung meletus bisa jadi cuma dikaji masalah pergerakan magmanya saja. Jangan tanya Tuhan dimana, karena dalam filsafat materialisme, Tuhan bukan siapa-siapa. Sementara menggunakan sudut pandang Quran, maka kita langsung tahu bahwa gunung meletus karena dia bereaksi terhadap sesuatu di sekitarnya sesuai dengan izin Allah, wasilahnya (sarananya) melalui pergerakan magma di dalamnya.

Konsekuensi lainnya, jika masyarakat menggunakan sudut pandang Quran, maka mereka tidak akan mengatakan itu bencana alam. Karena gunung punya hak untuk perbuat demikian. Dalam pandangan masyarakat Jawa pun ada yang bersesuaian, misal saat merapi meletus, masyarakat sekitar mengatakan “Mbah Merapi lagi duwe gawe (Kakek Merapi sedang punya hajat)”. Begitu pun air yang mengalir ke luar dari jalurnya dan menuju ke pemukiman, maka istilah banjir itu pun menjadi absurd.

Maka dengan pendekatan ini ilmu-ilmu teknik dan ilmu lainnya akan menjadi “tauhidi”. Sehingga tidak lagi menjadi ilmu mati rasa seperti sekarang, yang terkadang juga membentuk pola pikir para penggilanya sehingga ujung-ujungnya menjadi kaum materialis. Dan sungguh, dunia saat ini ruwet karena filsafat materialisme yang absurd itu. Tapi anehnya kita terus beriman padanya dan mengkonsumsinya secara disiplin.

Surakarta, 24 Juni 2015

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.