Dalam sejarah, Rasulullah, Aisyah, dan banyak diikuti orang-orang shalih di kemudian ketika dituduh macam-macam, mereka diam dan tidak konferensi pers untuk bilang bahwa, “saya itu tidak ….”

Saya kira ini salah satu indikator yang masih berlaku untuk melihat karakter orang-orang hari ini. Kita masih bisa mengetahui siapa yang beneran bekerja, siapa yang sibuk pencitraan dan cari popularitas.

Karena sekarang juga musimnya cari “kambing hitam”, bukan buat qurban sih, tapi buat jadi bahan obrolan, saya kira kambing hitam yang paling laris ya mengkambinghitamkan presiden de jure sekarang (yen kowe ngakoni deweke presiden lho ya).

Mayoritas berkutat pada soal menuntut, mencela, dan meminta macem-macem. Sangat sedikit yang menganalisis sistem dan mengidentifikasi kejanggalan sistem yang memang telah rusak pasca 1998.

Jadi saya justru bersimpati pada yang kini jadi bahan ejekan rame-rame itu. Bukan karena apa-apa, tapi karena memang dia nggak bisa ngapa-ngapain (wong sistem dan infrastrukturnya memang rusak), terus diplekotho oleh kiri kanannya yang kemaruk pada kayak buto itu dan dibully rame-rame oleh mereka yang bingung massal.

Dan kasus seperti ini saya kira juga tidak pernah terjadi di negara besar lain. Bagaimana sebuah rantai kebingungan begitu indah silang sengkarut selama hampir 17 tahun tapi secara nasional kok masih stabil. Ini bukan saja aneh, tetapi malah bikin tanda tanya, jadi negara ini penting tidak bagi persatuan bangsa-bangsa di Nusantara ini?

Akhirnya, ocehan pagi ini saya cukupkan dengan pesan: nylekopa sak-sakmu, mumeta sak njedhotmu, ruweta sak mbundetmu, tapi toh akan terus ada hal-hal tak terduga yang akan muncul. Jangan kagetan, karena sejarah kita di belakang terlalu banyak yang dilupakan.

‪#‎NgomyangEsuk‬

Surakarta, 29 September 2015

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.