Teknologi yang menurutku dapat meminimalisir hoax-hoax yang saat ini beredar adalah live streaming, baik audio atau video. Tapi apakah teknologi ini telah dimanfaatkan secara maksimal? Kayaknya belum deh, wong orang-orang itu sekarang sibuknya minta ampun sehingga ia memilih mencari rekaman baik berupa tulisan, gambar, audio, maupun video yang bisa disaksikan di kesempatan yang lain.
Maka masalah mulai timbul dengan beredarnya cuilan tulisan, cuilan gambar, cuplikan audio dan video yang terkadang hanya penggalan dari sebuah peristiwa. Di situlah prasangka timbul. Di situlah gegeran mulai disulut. Di situlah orang-orang yang berpenyakit hati mulai menebar kebencian ketika menemukan celah untuk menghabisi orang-orang yang dibencinya.
Perdebatan yang kerap mengemuka belakangan ini pada tema-tema yang sebenarnya tidak terlalu penting semakin menunjukkan betapa umat Islam macam kita telah gagal menyerap dan mengolah informasi. Saya sendiri tak selalu yakin bahwa pernyataan kontroversial itu memang karena sang tokoh benar-benar mengeluarkan pernyataan kontroversial, tetapi lebih karena media dan orang-orang yang tak bertanggung jawab memelintir dan mencuplik untuk kepentingan pragmatis mereka.
Saya belajar untuk tidak berprasangka apa pun pada orang yang memang tidak ada urusannya dengan saya. Karena kita kan memang aslinya diminta meninggalkan prasangka, karena sebagian besar prasangka itu dosa. Kita perlu berprasangka baik hanya jika kondisi kita terlanjur memasuki alam prasangka, maka selamatkan prasangka kita pada prasangka baik. Justru lebih indah lagi jika kita mampu menjalani hari-hari tanpa prasangka berlebihan terhadap apa pun bukan?
Saya percaya bahwa pertemuan langsung, persahabatan yang dekat, dan komunikasi-komunikasi yang dibangun secara sehat dengan dilandasi ketulusan itulah yang lebih berhak kita beri tempat dalam hati kita. Apa kita akan lebih memilih termakan isu media, ketimbang menikmati kisah teman sendiri yang baru saja habis bertemu orang gila. Ah saya memilih tertawa dengan cerita teman yang baru saja dikerjai orang gila misalnya.
Saya yakin suatu saat masyarakat di negeri ini akan semakin sadar betapa bermusuhan satu sama lain itu melelahkan. Kita akan sampai pada klimaks untuk bertanya, “mengapa kok kita harus bermusuhan?”. Tapi saat ini sementara di antara kita masih banyak yang jadi fansboy-nya macam-macam sehingga kalau yang dipuja sedang galau, kita di sini ikut-ikutan galau dan menebarkan kegalauan di mana-mana. Padahal ikut berempati itu tidak harus menunjukkan kegalauan. Kita bangsa yang diajari oleh nenek moyang untuk mengerti patrap dan ketinggian budi. Tapi entahlah, apakah itu masih ada di sanubari kita atau sudah lenyap sama sekali.
Coba kita merenung, mengapa kita harus memverbalkan permusuhan dengan orang lain hanya gara-gara beda keyakinan atau madzhab? Bahwa keyakinan yang kita anut berbeda sudah pasti membuat kita tidak akan pernah bertemu dalam satu kesepahaman tentang Tuhan itu benar, dan seharusnya kita tidak perlu saling memaksakan keyakinan itu kan. Tapi apa lantas perbedaan ini membuat kita saling membenci dan kehilangan pergaulan manusiawinya? Bukankah keyakinan itu urusan di hati dan jiwa? Yang dibutuhkan di antara sesama kita adalah akhlak dan komitmen untuk saling melindungi agar sama-sama menyelamatkan.
Mungkin saat ini hati kita sedang tidak distreamingkan satu sama lain sehingga tidak nyambung kali ya. Hahaha
Surakarta, 17 September 2015