Saya kadang merasa tidak sreg dengan bacaan imam yang tidak mengikuti kaidah tajwid dengan benar. Tetapi sebagai tetamu di masjid, maka saya memilih diam, karena tuan rumah lebih berhak atas tamunya. Jika tak mantap dengannya, ulangi saja shalatmu, dari pada ghibah dan menjelek-jelekkan sang imam.
Ini adalah salah satu problem serius dalam syiar Islam, di samping muadzin dan khatib Jumat. Tapi entah mengapa, umat Islam lebih sibuk berdebat konyol, sampai-sampai kata INSYA ALLAH dan INSHA ALLAH pun diperdebatkan, atau malah SILATURAHIM dan SILATURAHMI. Sibuk pula berdebat soal perang di Timur Tengah, lalu debat karena beda dukungan. Padahal jelas-jelas perang itu mengakibatkan jutaan orang mengungsi dan kehilangan hak mereka untuk hidup layak.
Banyaknya masjid yang tidak memiliki imam, muadzin, dan khatib lokal yang berkualifikasi baik adalah pertanda bahwa dakwah kita selama ini justru semakin terpuruk. Justru hari ini kebiasaan mencela dan memecah belah ukhuwah lebih sering menjadi trend. Entah dengan alasan apa pun, tapi Islam telah ditutupi oleh fanatisme aliran dan berbagai kepentingan. Masjid tak ubahnya parpol dan ormas yang dijadikan ajang perebutan kekuasaan. Ini problem serius, lebih serius dari sekedar kalah dukunganmu di pilpres atau soal dolar menguat hingga bikin niatmu beli Jaguar gagal.
Saya belajar banyak dari khazanah peradaban Islam di Nusantara tentang patrap (penempatan yang pas). Para waliyullah di tanah ini adalah juru dakwah yang sangat jenius dalam mengemas syiar Islam kepada masyarakat. Saya takzim kepada mereka. Namun sayang sejarah mereka dikaburkan, produk intelektual mereka tidak diteruskan, dan warisan mereka justru dicela habis-habisan oleh orang yang darahnya turunan sini tapi pola pikirnya entah dari mana.
Surakarta, 6 September 2015