APA KABAR ISLAM KITA?
Syahadat itu ikrar, ia adalah input dari proses kehidupan. Outputny adalah kesadaran penuh bahwa hidup kita sepenuhnya untuk Allah azza wajalla
Shalat itu input, outputnya adalah komitmen, disiplin, sungguh-sungguh, tanggap situasi dll
Zakat itu input, outputnya adalah dermawan, peduli masalah sosial dll
Puasa itu input, outpunya adalah hidup sederhana, tidak nggarukan, tidak korupsi, tidak ambisi pada kedudukan, tidak selingkuh dll
Haji itu input, outputnya adalah tertatanya kehidupan sosial, tegaknya keadilan, terbangunnya toleransi, saling memberi rasa aman dll
Dan saya masih begitu jauh dengan semua itu, masih terus belajar dan berjuang mengamalkannya agar saat meninggal diakui Islam-nya oleh Allah.
Jika setiap muslim berjuang menegakkan rukun Islam-nya, masih perlukah sistem hukum2 ruwet seperti sekarang, karena mayoritas kita bukan pencuri dan pelanggar nilai moral? Masih perlukah negara untuk mengurusi masyarakat karena semua saling menanggung yang lemah dan menjamin keamanannya? Maka hukum dan negara ada itu diperuntukkan bagi masyarakat yang mayoritas tidak sanggup ber-Islam. Apa kita mau begitu? Katanya kita mayoritas masyarakat yang beragama Islam.
Mengapa nggak ngikut Rasulullah sih? Apa kita takut untuk bercita-cita agar semua negara di dunia ini bubar, karena manusia-manusia telah ber-Islam dengan baik? Bukankah Rasulullah dahulu telah melakukan delegitimasi kekuasaan sehingga aturan kabilah dan segala bentuk kekuasaan harus patuh di bawah prinsip-prinsip Islam. Apa Madinah adalah sebuah sistem negara kayak sekarang? Apa buktinya? Bukankah hanya sebuah komunitas masyarakat heterogen yang saling berjanji dan memiliki kesadaran hukum tinggi dengan prinsip-prinsip Islam?
Sekilas tampak ilusif, tapi untuk inilah Allah turunkan Islam kepada semua nabi. Jika menjadi muslim kok masih membutuhkan macem-macem yang riweh-riweh soal hidup, lantas selama ini Islam itu sebenarnya apanya kita sih? Jangan-jangan Islam kita memang serba nanggung dan tidak berakar di sanubari kita. Hanya sibuk di simbol luarnya tapi lupa akar pijakannya. Bukankah kita diminta ber-Islam secara kaffah.
Kesadaran ber-Islam harus terus kita jaga agar tidak salah tujuan saat berorganisasi, berpartai, bernegara, bahkan hingga berdakwah dan memberikan layanan sosial. Karena keruwetan yang hari ini mengepung kita, boleh jadi karena memang kita tidak serius ber-Islam. Apalagi munculnya trend saling mengawasi proses input dan abai pada proses outputnya. Jika memang ingin jadi pengawas, ya sekalian yang totalitas, jangan hanya inputnya saja.
Bahkan yang memprihatinkan lagi lahirnya sebagian kaum yang sangat bernafsu untuk marah, mencela, dan bahkan membunuhi manusia. Begitukah Islam? Setahuku Rasulullah tidak mengajari kita demikian. Itulah mengapa, peperangan di awal masa dakwah Islam selalu dipenuhi keajaiban. Barangkali karena yang berperang bukan orang-orang yang marah, tapi para prajurit pilihan yang sebelum bertarung di medan perang, sudah menundukkan hawa nafsunya.
Semakin direnungi shirah, semakin bukan apa-apa kita saat ini. Kita hanya segerombolan umat lebay yang kebanyakan protes dan kurang kesabaran. Alangkah memalukannya kita saat ini.
#RenunganSore
Surakarta, 12 Agustus 2015