Belajar dari suku-suku seperti Boti, Badui, Samin, dan yang lainnya, saya menduga bahwa kehidupan bangsa kita dari dulu aslinya sangat efisien dan harmonis dengan alam.

Kalau pun ada kerajaan-kerajaan yang silih berganti itu, hanya semacam mercusuar yang timbul tenggelam dalam lintasan sejarah. Masyarakat desa-desa tetap merdeka dan menghidupi kerajaan-kerajaan itu dengan setoran-setoran upeti secara berkala.

Hingga kemudian tatanan itu berantakan ketika bangsa-bangsa di Eropa datang dan menawarkan duit. Pertama-tama yang gila dengan duit ya para raja itu sehingga wilayahnya diserahkan kepada Londo demi dapat duit terus. Lalu berikutnya rakyatnya belajar dari raja. Ketika mereka membandingkan dengan raja, terasa rakyat itu miskin, sehingga mereka berlomba-lombag mengejar duit juga.

Zaman ini cuma masa panennya saja. Kita menjadi bangsa yang sangat ketergantungan dengan duit tapi tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk mengelola dan mengembangkan duit. Akibatnya hutang terus demi memenuhi kebutuhan konsumsi yang kian meningkat. Makin ke sini, tingkat konsumsi bangsa kita makin parah. Perlahan-lahan kehidupan natural yang dulu pernah dijalankan leluhurnya dilupakan.

Sebenarnya mengubah kebudayaan itu tidak masalah, asal memang karena dikendalikan oleh kehendak sendiri. Sayangnya tidak, posisi bangsa kita hari ini hanya menjadi domba yang digiring untuk mengikuti era industrialisasi dan konsumsi. Suku Badui, Boti, dll itu tidak punya duit, tapi mereka berdaulat pada kehidupan mereka sendiri. Jepang, punya duit banyak dan mereka berdaulat pada kehidupan mereka sendiri. Baik Jepang maupun suku-suku tradisional di Nusantara, keduanya memiliki kesamaan, yakni semangat memproduksi sendiri untuk mencukupi kebutuhan mereka. Jadi naluri konsumsinya disesuaikan berdasarkan kemampuan produksinya, sehingga tidak defisit.

Jika ada yang bilang nenek moyang kita dulu kaya? Ya benar. Tapi cara pandang nenek moyang kita dulu dengan kita zaman sekarang beda. Nenek moyang kita meletakkan etos kerja dan produktivitas sebagai pandu mereka, sehingga kekayaan hasil perdagangan itu cuma efek. Sementara kita saat ini begitu tergila-gila profit, sehingga kita malas-malasan memproduksi sesuatu yang bisa kita gunakan sendiri. Kita lebih bersemangat cari duit dan ngejar profit, sekalipun itu menggerus devisa dan mendefisitkan neraca perdagangan, asal dapat untung banyak. Akibatnya, sampah pun tidak pernah kita urus juga. Sebab madzhab kita adalah konsumsi. Sementara mengelola sampah adalah madzhab produksi. Maka, selain konsumsi kita menggila, sampah yang berserakan pun makin menggunung. Siap jadi bencana masa depan.

Jadi yang membikin bangsa ini jatuh miskin bukan karena dirampok kekayaan alamnya, tapi justru karena watak konsumtifnya yang terus membesar, tapi tidak diiringi kemampuan produksi yang memadai. Ketika daya konsumsi melebihi kemampun produksinya, sudah pasti defisit, entah dalam bentuk yang seperti apa. Jadilah kita bangsa nggragas. Bangsa yang nggragas itu, umumnya doyan menggigit sesamanya. Jadi faktor utama jatuh miskinnya bangsa ini, karena kita nggragas. Yang paling nggragas adalah para elitnya, perlahan-lahan diikuti rakyatnya. Elit yang nggragas, sudah pasti dapat cuan. Rakyat yang ikut nggragas, harus rebutan dulu, bila perlu bunuh-bunuhan, dapatnya pun tak seberapa. Jadi kemiskinan yang kita rasakan sekarang, karena persepsi kita yang salah tempat saja. Kalau kita hidup efektif dan efisien, sebenarnya kita bisa mulai mandiri kok. Belum terlambat.

Bersyukurlah masih ada suku Boti, Badui, dll itu. Mari belajar dari mereka. Tidak harus dalam semua hal, setidaknya sederhana saja, pastikan nafsu konsumsi kita tidak melebihi kemampuan produksi kita secara mandiri.

Surakarta, 17 Mei 2019

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.