Wacana penggalan yang lahir di saat kolonialisme menguasai dunia, termasuk masyarakat Nusantara membuat kita seperti masuk perangkap kebodohan. Kehidupan kita yang sebenarnya holistik dan telah menyatu dengan alam dalam konsep “bebrayan ageng” akhirnya rusak dan bergeser mengikuti filsafat materialisme barat yang menempatkan manusia sebagai pusat dan alam sebagai taklukan.
Nenek moyang kita biasa menamai benda-benda di alam seolah mereka hidup dan berdampingan dengan kita. Cara hidup yang harmoni ini adalah tatanan ideal sehingga keseimbangan alam terjaga. Jika gunung berapi meletus, mereka menyebut si mbah gunung sedang punya hajat, dan mungkin dikaitkan dengan peristiwa sosial politik yang terjadi. Semua ini adalah contoh bentuk pemahaman kosmos masyarakat Nusantara.
Bahkan kedatangan Islam pun selaras dengan prinsip dasar ini. Islam hanya memberi penegasan agar puncak dan pusat dari sistem kosmos ini hanyalah Allah, sehingga penghormatan kepada makhluk Allah hendaknya tak berlebihan. Itulah mengapa para waliyullah di tanah Jawa ini melakukan proses kreatif secara kebudayaan untuk menanamkan Islam sehingga pada era keemasan Islam, terjadilah sebuah kemanunggalan identitas, jika aku Jawa maka aku Islam. Dan unen-unen Jawa ilang Jawane kan sebenarnya sindiran bagi orang-orang Jawa yang mulai membebek penjajah dan tidak menjaga martabatnya lagi sebagai muslim Jawa.
Perlahan, identitas ini meluntur di tanah Jawa dan akhirnya terus mengalami sekulerisme. Padahal suka atau tidak suka, bangsa Jawa adalah pakunya bangsa-bangsa di Nusantara, jika bangsa ini hancur, maka bangsa-bangsa lain di Nusantara juga akan bergoncang. Jumlah populasinya yang sangat besar dan tata nilai kehidupannya yang sangat tua konon telah menjadi inspirasi bagi bangsa lainnya di kepulauan ini. Tradisi kepemimpinan Jawa yang memangku inilah yang membuat bangsa lain memiliki penghormatan kepada Jawa sebagai sesepuh. Tapi semakin ke sini, watak sebagian orang Jawa yang tercemari kapitalisme menciptakan keretakan-keretakan yang semakin mengkhawatirkan.
Di abad ini, mungkin adalah saat parah-parahnya. Karena bangsa Jawa mulai menjadi “orang lain” dan mensistem bangsa-bangsa di Nusantara agar turut menjadi “orang lain”. Wajah sekulerisme semakin kuat dan membuat cara berpikir masyarakat yang dulunya holistik sekarang menjadi terpenggal-penggal. Jangankan hanya memisahkan ruhani dan materi atau agama dan dunia, bahkan sekarang pemahaman kita pada makna kata sudah terpenggal-penggal juga. Aneka kesalahpahaman dan perdebatan terus digoreng dan dinikmati bersama-sama. Apalagi sekarang difasilitasi media sosial.
Bahkan umat Islam sendiri sudah mensekulerkan dirinya dengan membuat penggalan antara kerja dan ibadah. Sehingga hidup ini dipandang ada aktivitas kerja dan ibadah. Salah satu problem yang timbul adalah adu pamer kaum yang ngakunya banyak beribadah vs kaum yang lebih memilih bekerja. Sungguh naif dan sangat lucu jika kita lihat saat ini. Padahal bukankah syariat kehidupan manusia itu secara keseluruhan ya bekerja. Dan dalam bekerja itu sekaligus manusia itu melaksanakan ibadah. Dan ritmenya ada bekerja-beribadah yang SOP-nya datang dari Allah (mahdhah) dan lebih banyak lagi adalah upaya kesadaran manusia untuk mengkhalifahi kehidupan. Maka hari ini orang menjadi naif dengan mengejek dan merendahkan orang yang belum shalat, bukannya dirangkul dan dinyamankan.
Dan jika mau dibedah lebih jauh lagi, kita akan terbelalak bahwa sekulerisme telah menembus jantung umat Islam. Mungkin juga kita masih banyak melakukan hal-hal yang berakar pada sekulerisme itu.
Surakarta, 9 Agustus 2015