Ulama itu jembatan antara Rasulullah dan umat Islam. Mereka layak disebut ulama karena diberi kelebihan atas umat Islam pada umumnya, yakni keluasan ilmu dan kemampuan membuka cakrawala tentang apa yang dibawa Rasulullah. Maka fungsi fatwa itu adalah semacam kodifikasi bahan pertimbangan yang telah diracik para ulama agar umat punya rambu-rambu dalam beraqidah, beribadah mahdhah dan bermuamalah.
Itulah mengapa dalam Islam tidak ada istilah penebusan dosa dengan cara datang ke kiai untuk minta disucikan. Tidak pula ada status yang berbeda secara strata kemanusiaan antara umat Islam biasa dengan ulama. Kemuliaan ulama itu adalah penghargaan dari Allah, bukan stempel manusia, meskipun tidak dipungkiri manusia secara umum akan mampu mengenali ulama mereka karena keunggulan akidah, akhlak, dan amalan mereka, terlebih umat Islam di masa dahulu.
Baik umat Islam biasa maupun ulama sama-sama diberi beban untuk memahami dan menjalankan ajaran Islam sesuai kesanggupan masing-masing. Nah untuk umat Islam biasa, maka tentu kemampuan mereka memahami dan menjalankan Islam tidak sedalam para ulama. Maka tugas para ulama lah meracik Islam agar dapat dipelajari umat dan dilaksanakan sesuai kondisi mereka.
Ajaran yang ditanamkan dimulai dari akidah, baru akhlak, dan dipahamkan fikihnya. Menanamkan akidah itu menanamkan prinsip, bukan sekedar membuat mereka tahu A, B, C tentang akidah. Begitu pula akhlak itu butuh keteladanan, bulan sekedar ceramah bahwa tidak boleh begini atau harus begitu. Sedangkan soal fikih, nah ini yang hingga hari ini terus jadi polemik, padahal perkara ini jelas paling interpretatif mengingat perkara ini diperlukan dalil untuk memutuskannya. Interpretasi ini melahirkan madzhab-madzhab yang banyak sekali, yang hingga hari ini ada 4 yang masih disepakati sebagai madzhab terbaik.
Maka jika menjadi umat Islam biasa kok malah sibuk berpolemik pada soal hadits yang menjadi hukum-hukum fikih, padahal tidak pernah belajar fikih itu lucu. Sudahlah ikuti salah satu madzhab, belajar ke ulamanya dan praktekkan untuk sendiri. Jika ada yang bertanya, kan mending bilang “beginilah fikih yang kuikuti sesuai dengan kemantapan hati saya setelah belajar dari guru saya” dari pada “ini lho yang paling benar”. Itupun kalau pas harus berjamaah, perlu kearifan dan kerendahan hati bersama agar tidak terjadi debat panjang yang berakibat gagalnya pelaksanaan amal.
Problemnya hari ini umat Islam masuk dalam dua kutub ekstrim. Golongan pertama kaum yang benar-benar awam soal agama, sehingga jangankan ngaji, nggagas fatwa saja tidak. Tak jarang cari fatwa-fatwa yang instan, bahkan seandainya ada cara cepat menuju syurga mereka pasti akan milih tarekat singkat itu. Golongan lainnya adalah kaum yang begitu bersemangatnya belajar kadang-kadang mudah disulut kecemburuan untuk menyalahkan golongan yang berbeda. Semacam satpam yang tak jarang bahkan bisa menghakimi orang lain hanya bermodal pernyataan, selebaran, atau bahkan status FB. Kedua kutub ini semakin banyak diminati ketimbang yang di tengah, yang tetap belajar tapi menahan diri agar tidak cemburuan dan bawa-bawa perasaan.
Polemik BPJS hanya salah satu contoh bagaimana gagapnya umat Islam hari ini, sama gagapnya umat Islam menghadapi serbuan informasi yang menggila saat ini. Sama gagapnya saat bertemu dengan realitas politik, ekonomi, sosial, bahkan kebudayaan yang kini berada dalam hegemoni Barat. Dan hari ini umat Islam bingung mencari ulama, karena label ulama begitu mudah dilekatkan kepada seseorang. Hingga tak jarang terjadi kompetisi dan semacam perang tarif antar “ulama”.
Ekstrimisme tadi juga menimbulkan kefanatikan serius, baik karena terlalu nggak kenal Islam sehingga mudah nyinyir merendahkan nilai-nilai Islam atau karena terlalu ngefans sama alirannya sehingga seolah-olah hanya golongannya yang pasti masuk syurga dan karenanya mereka punya previllege khusus untuk menjadi satpam bagi manusia lainnya. Termasuk di sini ada yang diposisikan sebagai guru ngaji, tapi hobinya menggibah dan menebar fitnah kepada saudara seiman. Nah, demikianlah tantangan dakwah hari ini untuk menarik umat agar kembali ke titik keseimbangannya sehingga persatuan dan keharmonian umat kembali terjadi.
Memang tantangannya berat, yakni membudayakan BELAJAR. Karena BELAJAR sendiri saat ini telah kehilangan denotasinya. Jika orang tak mengerti lagi denotasinya, maka tidak perlu heran jika kita mudah dijerat oleh berbagai opini yang bertebaran. Maka pilihan mencari yang instan dan siap pakai adalah jalan yang lebih efektif dan efisien. Demikian kata manusia modern.
Di tengah upaya amar ma’ruf dan nahi munkar dari penguasa yang lesu dan susah diharapkan, maka sebagai umat Islam mari perbanyak yad’u ilaa al khair (menyeru kepada kebaikan). Domain syiar ini komponen utamanya tentu akhlak yang mulia. Mengajak orang pada kemuliaan Islam, mestilah dimulai dari diri kira yang layak dipandang memiliki ra ketan seiprit kemuliaan itu. Jangan GR, Tangan Allah itu juga bekerja menyapa hati-hati yang dikehendaki-Nya, kita hanya sekedar membantu memberi jalan, bukan menjadi petunjuk. Wallahu a’lam
Surakarta, 31 Juli 2015