Terminologi NEGARA TAYAMUM vs NEGARA WUDHU itu cukup menarik. Di sana ada proses belajar untuk mengenal bagaimana kita melihat kondisi apa sudah bisa wudhu karena kondisinya terpenuhi atau serba tidak ada apa-apa sehingga tayamum.
Begitulah di negeri ini, cara memandang kita dengan pisau bedah itu akan membuat kita punya prioritas dan langkah-langkah yang tepat. Sebagai manusia normal kita tentu mencita-citakan negara WUDHU. Tetapi jika kondisinya masih TAYAMUM kayak sekarang mbok ya bagian-bagian yang tidak produktif menuju proyeksi ke NEGARA WUDHU jangan dibesar-besarkan dulu lah.
Pakai strategi kultural seperti para Wali Sanga dulu, jangan pakai strategi perang, karena kita tidak sedang menghadapi penguasa yang kuat dan zalim. Kita menghadapi problem pribadi dan masyarakat yang sama-sama bingung, ngeyelan, dan kurang piknik. Sebagai kaum yang ketiban sampur bab pengetahuan, mulailah nyetatus di Facebook hasil-hasil belajar dan berpikir kita, ora mung masalah-masalah remeh bab ngelih karo ngelak.
Nek aku dulu tidak sekolah dan tidak diketemukan orang-orang yang mencerahkan pikiran, ya mungkin ra kenal Facebook. Umpama duwe Facebook, yo nyetatuse mung sak-sake. Tur mikire yo mung bab bolongan duwur n bolongan ngisor. Makanya selorohnya Simbah bikin ngakak, kalau tidak ingin masuk neraka, jadilah manusia yang sebodoh-bodohnya, yang tidak tahu apa-apa sehingga ketika ditanya malaikat, “Wo, ngoten to, lha kulo riyin boten ngertos je”. Itu sanepan sing jero, yen mudeng. Ning malah ana sing mencak-mencak jare kuwi liberal. Sak karepmu.
Maka nyetatus FB-pun, niatkanlah untuk perjuangan. Sembari beneran berusaha di ranah kenyataan. Tanpa harus pencitraan. Apalagi lagi bar ngapa-ngapa njet selfie. Selfie ya sesekali wae, mengko ndak nggilani.
Surakarta, 30 Juli 2015