Kalau pernah membaca otobiografi Mohammad Hatta, UNTUK NEGERIKU, kita bisa berimajinasi bagaimana pemerintah Hindia Belanda saat itu soal penyediaan fasilitas publik masih lebih juara dibandingkan NKRI pasca (kata sejarah versi “nganu”) reformasi. Artinya kita memasuki kemunduran zaman yang faktornya tidak semata-mata karena kesalahan Jokowi, SBY dll, tapi karena kebutaan kita pada sejarah secara mayoritas.
Karena modal mikirnya masyarakat sekarang cukup baca berita online dan broadcast WA, termasuk dalam beragama cukup install ensiklopedia hadits di Leptop lalu sudah berasa jadi kiai karena apa-apa tinggal ketik search lalu berfatwa, maka kita menghadapi problem serius dalam bahasa dan kebudayaan. Bahasa kita mosak masik ga karuan, kebudayaan kita tidak jelas, mandeg, dan cuma jadi obyek cari duit. Lahirnya nama grup band Dewa, Radja, NOAH, dll adalah bentuk dari kekacauan pola pikir masyarakat sehingga mereka tidak paham bahwa kata itu punya makna dan tempatnya, tidak ngasal kreatifnya. Kamuflase ini pun akhirnya diikuti dengan tumbuhnya idiom …. Islami, …. Syariah.
Bahasa dan kata itu kan alat, sebagaimana sarana-sarana yang kita pakai lainnya. Kalau kita menggunakan alat tanpa keterampilan yang memadai apa hasilnya tidak menimbulkan kerusakan yang serius. Maka tidak heran jika kata qurban (yg bermakna asal pendekatan) bisa diserap menjadi kata korban yang artinya you know lah. Bahkan saya yakin kita masih gagal paham soal kata fitnah, kata ustadz, dan lain-lain. Kita belum mengetahui klasifikasi idiom-idiom Islam dan idiom kebudayaan. Sehingga timbul anggapan bahwa yang mengandung Arab itu pasti Islam, padahal tidak. Ustadz, syaikh, akhi, ukhti itu kan idiom-idiom kebudayaan yang lahir dari interaksi masyarakat penutur bahasa Arab. Idiom-idiom Islam yang jelas penting untuk di dalami ya apa yang ada di dalam Quran. Pernahkah kita mengkaji apa bedanya shalih, birrun, khoir, ma’ruf, hasan yang dalam bahasa kita sama-sama diterjemahkan baik. Juga bedanya ulul albab, ulul abshor, dan ulun nuha. Hehehe
Sejarah, budaya, logika, dan bahasa adalah ilmu pokok yang membuat manusia itu punya patrap. Tapi hari ini keempatnya justru dipinggirkam sejauh-jauhnya. Sejarah bikin ngantuk, budaya dianggap kuno, logika gagal diajarkan di matematika karena itu sekarang jadi ilmu administrasi menghitung angka, dan bahasa menjadi ilmu yang cuma sekedar buat spik spik aja. Iya kan. Maka jangan heran jika salah pengertian, perpecahan, perdebatan, hingga terjadi kekisruhan makna seperti saat ini adalah karena mayoritas kita umat Islam tidak disiplin pada ilmu-ilmu alat tadi. Jadi jangan dikit-dikit salahkan Jokowi, lha wong beliau tanda tangan aja kadang tidak membaca teksnya, mosok mbok tuntut sing ora-ora. Hahaha
Surakarta, 3 September 2015