Sepertinya kelak akan tercapai fase di mana manusia-manusia di Nusantara ini benar-benar dituntut berpikir secara merdeka dan mandiri, atau dia akan ngelu ndhase dengan aneka opini yang buanyak sekali dan masing-masing saling bertengkar.

Saat ini sih belum begitu terasa, tapi sudah mulai terlihat tanda-tanda kebingungan di kalangan awam, misale nek ber-Islam apike kudu melu aliran apa, nek sekolah apike mlebu sekolah apa, nek belanja apike neng ngendi, nek ……. apike …..

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu menurut saya bukan pertanyaan pokok dan tidak berakar. Itu menunjukkan sebuah kebingungan prinsipil sehingga yang dicari hanya bentuk formalnya saja.

Misalnya dalam ber-Islam, kenapa harus sibuk dengan aliran, mainstream kehidupan modern memang menawarkan dikotomi-dikotomi. Jadi orang Islam tok malah nggak pede, kudu diembel-embeli hal-hal yang sebenarnya bagian dari proses. Bukankah kita mengikuti suatu manhaj itu karena proses menuju Islam yang sejati, ning po kowe wani njamin karo wong liya yen dalanmu 100 % iso mlebu swarga? Kita hanya berani menawarkan kan, sambil kita meyakini proses yang kita lakukan sendiri. Karena proses ber-Islam itu kualitatif, ga hanya yang terlihat dari luar tapi juga yang terasa di dalam jiwa.

Lebih aneh lagi dalam soal bersekolah. Apa sih substansi dari sekolah, pembentukan akhlak dan adab kan. Jika memang sekolah-sekolah sukar ditemukan yang begitu, ya diwulang dewe (syara dan ketentuan kompetensi orang tua berlaku). Tapi lagi-lagi hal ini mustahil dilakukan, karena mainstream modern tidak demikian. Otomatis demi menjaga marwah anak anak dan gengsi orang tua anak-anak tetap masuk sekolah. Lalu terjadilah transaksi di mana ortu ga mau tahu pokoknya sekolah dibayar mahal dan anaknya kudu jadi baik, termasuk dapat nilai baik. Guru-guru pun harus tunduk dalam kesepakatan ini.

Apalagi soal belanja, ini lebih aneh. Orang sekarang manja soal label halal. Dan memang ini absurd. Tapi jika kita diminta menanam padi sendiri, menanam sayuran sendiri, memelihara ayam sendiri, dan menciptakan perabotan sendiri, itu lebih absurd sekalipun jelas 100 % halalnya. Dunia instan praktis dan modern memang bikin nganu. Maka fenomena orang-orang dagang seperti tirakatnya mbok-mbok di pasar tradisional yang cuma jual 10 lirang pisang tidak mau diborong dengan harga lebih banyak, dengan alasan merampas hak pembeli lainnya semakin susah ditemukan sekarang. Mengapa, lha wong semua orang pinginnya punya semua, dilahap semua, bahkan tak sempat bertanya nilai kehalalannya. Maka apalagi bicara moral dan persaudaraan dalam jual beli.

Modernitas yang ditelan mentah-mentah umat Islam bukan saja menimbulkan keruwetan sosial yang parah, tetapi menggerogoti sendi-sendi akidah kita. Kalau cuma ditindas, tapi kita sadar dan memurnikan akidah sih bagus. Tapi jika dimanjakan, lalu jadi nyontek sana sini, pengin gemerlap kayak sana sini, kan pertanda bahwa umat Islam tak punya kemandirian lagi dalam membangun kebudayaan.

Bahkan ada yang hari ini mengagumi kemajuan bangsa Arab, aku nyengir, apanya yang maju. Satu bangsa besar yang dahulu bersatu dan sanggup menghancurkan kekaisaran Romawi dan Persia, sekarang hancur berkeping-keping jadi beberapa negara, itu pun masih konflik tak berkesudahan. Gek majune nggon ngendi i lho. Kalau cuma maju teknologi, wong mereka juga ngadopsi teknologi negara Barat, sama juga kayak kita. Kalau duit mereka banyak, kenapa ndak mau bersatu lagi dan mengepung Israel. Masih mending sini, ayem dan ratusan bangsa mau rukun bersatu dalam wadah satu negara. Mungkin memang kerukunan, keguyuban, dan tradisi humor santai bukanlah bagian dari kemodernan.

Kalau bicara sudut pandang ke-Islam-an, bukankah produk sosial orang ber-Islam itu terciptanya keadilan dan persatuan. Lha nek mung ribut fikih terus-terusan yo piye. Dudu ulama, tapi ribut merga beda carane shalat kan nganu banget. Apalagi sudah berjarak 14 abad silam dari denotasi shalat Rasulullah, yo nek sholate ana sing sedakep karo ora po yo njet do arep gelut?

Sebagai generasi muda, belajar identifikasi itu penting. Biasakan meneliti sanad keilmuan seseorang yang kita rujuk jadi guru, sumber informasi. Mengidentifikasi akar permasalahan dari runutan sejarah yang benar, bukan modal jebret buka Google cari artikel media. Kalau tidak nanti kita akan berpotensi sebagai pencipta aliran baru yang menambah kebingungan di masa depan. Wong aliran-aliran pemikiran yang variatif sekarang aja sudah bikin nganu, dan tinggal dipicu agar gelut terus kok, masih mau nambah tafsir-tafsir aneh yang semakin mengacaukan umat.

Jadi Islammu aliran apa? Aliran cap jempol kah?

Surakarta, 9 Agustus 2015

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.