Kalender Qomariyah itu relatif stabil, karena ia mendasarkan hitungannya pada pergerakan bulan yang siklus revolusinya pendek dan observabel, berbeda dengan kalender Syamsyiyah, yang nanti setiap sekian ratus tahun harus ada koreksi tanggal. Kalender hijriyah yang menjadi rujukan umat Islam itu mendasarkan pada pergerakan bulan, atau bisa disebut juga kalender Qomariyah.

Pertanyaannya, mengapa setiap awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha ribet? Sementara di awal tahun (1 Muharram) tenang-tenang saja, alias sama. Konon, katanya yang suka datang di sidang-sidang pemutusan hari penting tadi amplopnya memang tebal, anggarannya juga memang luar biasa besarnya. Mau datang di sidang dengan niat suci maupun niat cari amplop, dapatnya jatah amplop sama sama, meskipun insya Allah pahalanya berbeda. Ooooo, saya mengangguk-angguk saja.

Sebagai kaum awam yang 100% taklid macam saya, jelas itu bukan masalah penting untuk saya ributkan, apalagi sampai ikut-ikutan berdalil. Lha gimana wong saya niteni jam-jam shalat 5 waktu itu jelas-jelas taklid kok. Mau dibilang pakai hisab, wong saya ndak paham cara ngitungnya, tinggal lihat jadwal yang sudah jadi ,artinya berarti saya tidak mengikuti metode hisab. Mau dibilang pakai rukyat juga tidak , wong saya kalau subuh tidak perlu penekan pohon untuk melihat terbitnya fajar sadiq atau harus ndengangak lihat matahari sudah condong apa belum kalau mau dzuhur. Atau harus mengukur panjang bayangan tongkat apakah sudah lebih panjang dari tongkatnya atau masih kurang panjang untuk shalat ashar. Saya juga hampir tidak pernah mengikuti itu. Pokoknya cuma lihat jadwal shalat dan ngikutin azan.

Saya lalu berpikir, barangkali saking awamnya kita saat ini kita akhirnya jadi begitu merasa pintar untuk menghukumi segala hal. Bahkan konon ada yang tahu lho, temannya yang masih hidup itu sesat atau lurus, bakal masuk syurga atau neraka. Bahkan ada yang tahu bahwa ulama A itu lurus, ulama B itu sesat. Padahal yang namanya manusia itu lengkap, kadang ia berlaku lurus dan kadang ia berlaku sesat. Keterbatasan informasi kita tentang hidup mereka cukuplah membuat kita diam untuk berkata yang tidak-tidak. Apalagi baru dengar satu quote-nya yang hanya sekian menit, sudah dihukumi as forever.

Akhirnya, saya berkhayal agar alam itu mau bersaing dengan karya manusia yang makin sombong ini. Jika manusia punya smartphone yang bisa berbunyi dan menyalurkan suara. Mbok ya semoga Allah memperkenankan makhluk-makhluknya ini bersuara agar manusia do melek matane tur ra kemaki nggilani kayak sekarang. Sesekali bulan itu mbengok, AKU WIS NJEDHUL, NDANG GEK DO PASA, RA SAH GEMREDEK. Mungkin manusia akan segera beriman ketika mendengar teriakan bulan dari ufuk barat. Hahaha.

Keawaman kita inilah yang mesthi disyukuri agar kita tak berhenti belajar, dan tak berhenti untuk selalu berdoa, “ihdinash-shiraathal-mustaqiim”. Karena kalau sudah benar-benar di atas “shiraathal-mustaqim” yo mending kalau shalat al-fatihahnya didiskon, wong sudah persis kayak kehendak Allah kok. Iya to. Itu bagi mereka yang sudah tidak awam.

Surakarta, 30 Juli 2015

Tinggalkan Balasan

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.