Alhamdulillah, pagi ini akhirnya bisa shalat subuh di Masjid Nurul Huda Uns. Kesampaian juga akhirnya ikut shalat jahr di masjid kampus yang pernah menjadi tempat ngaji, liqo, diskusi, dan online beberapa tahun silam.
Tentu saja ada hal yang begitu berbeda dibandingkan shalat-shalat yang saya jalani di masjid-masjid pelosok belakang kampus. Di masjid yang bisa dikatakan terbesar di kecamatan Jebres Surakarta ini, bacaan para imamnya jelas warbyasah. Muadzinnya juga warbyasah. Mereka adalah para mahasiswa UNS yang hafiz Quran dan bahkan menguasai beberapa bacaan dari Qiraah Sab’ah.
Pagi ini pun saya menyimak bacaan imam yang membaca dua surat di juz 30 dengan bacaan qiraah yang tidak lazim dibaca imam-imam umumnya. Ada beberapa lafaz yang berbeda dari umumnya lafaz yang lazim digunakan para imam kelas masjid kampung. Dan jangan tanya nada Qiraahnya, para hufaz jelas menguasai nada-nada murottal yang indah. Jadilah shalat subuh pagi ini begitu nyaman dan nikmatnya.
Tiba-tiba saya ingat dengan salah satu esai Cak Nun di “Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai”, buku yang terkenal “jero” untuk ngampleng dan menapuk pikiran kita dalam beragama agar tidak cuma selebrasi. Salah satu yang beliau kritisi adalah kurangnya perhatian umat Islam pada syiar yang menjadi garda terdepan dalam dakwah Islam. Apa itu? Azan. Saya tambahi juga, imam masjid saat shalat berjamaah. Apalagi hari ini, dimana mulai bermunculan umat Islam yang cerdas sehingga mereka luar biasanya berdebat dengan bawa ayat dan hadits untuk dipakai lempar-lemparan di komentar Facebook. Entah ini adab baru dari madzhab apa.
Mari periksa masjid-masjid di sekitar kita. Berapa masjid yang memiliki muazin dengan kualifikasi yang bagus. Disiplin, bersuara merdu, dan memiliki kualitas lafaz yang sesuai dengan kaidah bahasa Arab yang benar. Lebih lanjut, mari kita periksa berapa masjid yang memiliki imam yang memiliki kualifikasi sebagai imam, baik pemahaman agamanya maupun kualitas bacaan yang merdu dan menenteramkan jiwa. Sedikit atau banyak? Di daerah yang dahulunya bukan basis pesantren besar atau pun yang sekarang tidak dilingkupi pesantren pasti azan dan bacaannya imam-imamnya pas-pasan. Untung masjid yang saya tempati saat ini, imamnya adalah lulusan pondok yang memiliki suara merdu dalam bertilawah.
Bagaimana pun dakwah itu, tidak hanya soal konten. Ia harus bicara metode dan keindahan juga. Kalau shalat lima waktu cara mengingatkannya cuma datar-datar saja dengan alasan itu tidak ada dalilnya di zaman nabi, lalu kalau jamaah tidak datang yang dicap sesat jamaahnya, aneh sekali bukan. Begitu pula saat shalat berjamaah, berapa pilunya terkadang mendengarkan bacaan imam yang pas-pasan.
Bukan bermaksud menyalahkan muazin maupun imam. Tetapi ini adalah hal yang perlu disadari umat Islam hari ini agar tidak hanya ribut dengan perkara fikih yang seharusnya itu menjadi domain khusus para ulama yang berkompeten. Kita yang awam seharusnya punya tanggung jawab yang bisa dilakukan di garis depan agar tidak terlampau kurang kerjaan. Karena kurang kerjaan itu benar-benar bikin kurang piknik dan meningkatkan nafsu berdebat, bahkan saat bulan Ramadhan sekalipun.
Saya akan sangat bahagia jika ormas-ormas Islam itu bekerja sama membangun jaringan informasi masjid dan membangun generasi muazin yang suaranya seperti mas Fatih Segerafic dan generasi imam yang bacaannya seperti Misyarri Rasyid, Sa’ad al Ghamidi, atau yang lainnya. Tak masalah ada riset pengembangan tilawah Quran dengan nada-nada lokal selama dikawal secara ketat oleh para ahli di bidangnya.
Jika syiar masjid berhasil menawarkan alternatif keindahan bagi umat Islam, tak rindukah kita menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan umat. Di masjid inilah dahulu, Rasulullah menyeru kebaikan Islam, menyebarkan konsep toleransi, dan mengajak orang-orang bersyahadat. Di masjid pula, perkara umat diputuskan, bukan di gedung DPR Senayan atau Istana negara yang sudah kayak markas setan itu. Di masjid pula, masalah sosial dibahas dan diselesaikan. Dengan masjid pula, ekonomi dan pasar akan menyesuaikan ritmenya, bukan pasar yang mengatur masjid dan agama kayak sekarang.
Mari jadikan ini bahan refleksi untuk perjalanan pasca Ramadhan nanti. Masih akan ada banyak isu yang bertebaran di media dan jejaring sosial yang membuat umat Islam lupa fokusnya. Itu bukan masalah serius sebenarnya. Masalah seriusnya kita hari ini semakin sekuler tapi teriak-teriak anti-sekulerisme. Kita yang buta sejarah, kita yang tidak memiliki kemandirian berpikir, dan kita yang tidak lagi percaya dengan Quran sebagai puncak inspirasi, cukup menjadikannya sebagai aksesori bacaan dan bahan perdebatan seperti hari ini.
Masjid-Masjid Kampus barangkali adalah masjid yang paling beruntung di Indonesia setelah masjid-masjid di pesantren. Bahkan pamor masjid kampus mulai mengalahkan masjid-masjid agung di kota. Tolonglah, kita tidak sedang ingin pamer kemegahan bukan. Kita ber-Islam agar diri kita diterima Allah saat kembali nanti. Jadi mengapa kita tak bersama-sama untuk menebarkan keindahan perjalanan pulang ini. Sudahlah, tahanlah untuk mencela dan menyesatkan saudara sendiri jika lisan dan suara indah kita mampu untuk memanggil mereka dengan baik dan memanjatkan doa keselamatan untuk kita bersama. Dari masjid-masjid kampus, kita kembalikan syiar Islam seperti masa keemasan Islam dahulu.
#InspirasiPagi
Surakarta, 15 Juli 2015