Sebenarnya ketika ajaran agama ditinggalkan karena tidak bisa memberi solusi atas penindasan dan pemiskinan yang sedang terjadi, bukan karena salah ajaran agamanya, tetapi para ulama yang menafsirkan agama menggiring umat pada kesesatan.
Para Nabi adalah orang-orang yang mencerahkan manusia pada zamannya untuk keluar dari jebakan syirik dan kezaliman yang mereka lakukan secara individual maupun oleh para pemimpin mereka. Makanya berulang-ulang, Nabi dan Rasul itu pasti dicela oleh kalangan elit pada zamannya sebab sering mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang mengganggu stabilitas kekuasaan.
Posisi para Nabi dan Rasul mirip oposisi dalam konsep politik sekarang. Bedanya, mereka semata-mata menyadarkan umat, tidak gantian mencari kedudukan. Itulah mengapa meskipun Nabi Musa diberi mukjizat sehebat itu, cuma diberi tugas untuk mengingatkan Firaun agar insyaf dan tidak menuhankan dirinya, serta memberikan arahan-arahan untuk perbaikan dirinya jika berkenan. Musa sama sekali tidak melawan kedudukan Firaun sebagai raja lho ya.
Hanya saja, ternyata nasihat Musa tidak didengarkan. Dan justru menyatakan perang terhadap Musa dan bani Israel yang ingin diajaknya pulang ke tanah kelahirannya. Di situlah Firaun menemui ajalnya dan jasadnya diawetkan oleh Allah untuk disaksikan manusia sekarang. Lantas apakah kemaharajaan Mesir berakhir? Tidak juga. Kemaharajaan Firaun di Mesir terus berjalan hingga berabad-abad lamanya. Ada Firaun yang berbakti, ada Firaun yang durhaka seperti masanya Nabi Musa.
Di zaman ini, kita sering ketipu. Orang-orang yang berperan sebagai oposisi, jarang yang mengambil jalan para Nabi. Mereka menentang pemerintahan yang berjalan, karena ingin gantian menduduki pemerintahan. Sebenarnya ya kalau bisa ya bagus-bagus saja. Tapi sejarah menunjukkan bahwa siapa pun yang duduk di kekuasaan, lebih banyak yang ketularan penyakit para penguasa sebelumnya dari pada yang selamat. Dan aslinya, tatanan masyarakat yang baik kan berangkat dari kolektivitasnya, bukan dari kekuasaannya.
Tapi lagi-lagi siklus kehidupan terus berjalan, ada kalanya Monarki, lalu menjadi Tirani, akhirnya menjadi aristokrasi, lalu tumbuh menjadi oligarki, lalu menjadi demokrasi, dan akhirnya kacau balau menjadi ohlokrasi, lalu kembali ke titik Monarki lagi. Demikianlah siklus kekuasaan dunia manusia berjalan.
Surakarta, 19 April 2018