Hal yang tidak rasional tapi diimani oleh umat Islam di Indonesia setelah mekanisme pemilu yang syarat pendaftaran calonnya mudah, kampanyenya nggapleki, dan cara memutuskan pilihannya tidak bermutu lalu diharapkan lahir pemimpin superhero, adalah jika calon yang diidam-idamkan terpilih maka masalah akan teratasi. Hahaha
Wong yang diganti cuma Bos dan Wakil Bosnya, anak buahnya tetap sama, itu pun tidak bisa dipecat dan diganti, cuma diatur komposisinya, sambil merekrut segelintir orang untuk jadi staf, gimana bisa berubah. Itu belum termasuk cukongnya, makelarnya, dan rakyatnya yang masih begitu-begitu juga. Lalu kita berharap ada perubahan besar dan mendasar dari kepemimpinan yang metodenya aneh semacam ini. Lucu to, nalare neng ngendi jal.
Makanya, ekspektasinya itu jangan berlebihan. Yo pemilu yo kena, ning ga usah kemrecek, apalagi sampai menyebutnya dengan jihad dan perang badar. Anti pemilu ya kena, ning yen saya rusak temenan ya sing sabar nanggung ajur mumur negaramu. Yang harus diubah itu adalah cara berpikir dan tindakan pribadi kita agar semakin sesuai dengan prinsip kebenaran yang seharusnya. Jika bersentuhan dengan sistem yang nggapleki, jika bisa diubah ya diubah, jika tidak ya keluar atau bertahan tapi tidak larut. Di manapun tempatnya sekarang, temukan koordinat nilai kebaikan yang universal, aja kerah dhewe-dhewe.
Lha yo piye meneh, wong nilai-nilai Islam sekarang bukan lagi menjadi panduan utama kehidupan kita. Ia cuma dijadikan semacam sertifikat yang dislempit-slempitke turut nggon-nggon sing ketok didelok uwong-uwong. Islam tidak mengakar dalam cara berpikir, berkebudayaan, dan ekonomi kita. Islam tinggal simbol fisik yang dimunculkan di tengah arus pemikiran, kebudayaan, dan ekonomi yang sangat materialistik-kapitalistik, dan pastinya penuh klenik dan mistik. Ini kan eranya para dukun kembali berkuasa, do sadar ora kowe?
Juwiring, 24 September 2016