Di negara hukum, semua harus dibuat peraturan tertulis. Untung saja negeri ini tidak sungguh-sungguh sebagai negara hukum. Saya tidak membayangkan jika nanti ke toilet dan berak juga diatur dengan pasal-pasalnya. Pasti kampret banget peraturan macam itu.
Sudahlah, mari kita kembali berusaha membina peradaban akhlak. Peradaban yang sendi-sendinya adalah kesadaran moral individu untuk tidak sering mengganggu orang lain dan tidak gampang mutungan. Syukurilah tinggal di negeri ini, meskipun kacau balau, kita justru benar-benar bisa belajar untuk mengerti dan mensimulasi hal-hal ideal dalam kepala kita sendiri lalu kita perjuangkan.
Negara yang mengatur negeri ini pintar berkamuflase. Katanya bilang negara demokrasi ternyata nggak begitu-begitu juga. Katanya negara hukum ternyata juga nggak begitu-begitu juga. Dan rakyatnya konon menderita, kayaknya juga nggak begitu-begitu juga. Pokoknya di negeri ini jangan bikin justifikasi dengan standar ilmu gawan Barat. Mumet kowe mengko malahan.
Saya bersyukur hingga menjelang akhir Ramadhan ini, negeriku tetap damai. Negeriku tetap negerinya manusia yang saling berinteraksi sebagai sesama manusia. Negeri manusia, sungguh inilah negeri yang negara dan pengusaha bisa menimba kekayaan tanpa kenal habis. Di negerinya manusia ini, apa pun yang dijual laris. Di negerinya manusia, semoga Allah terharu melihat keikhlasan rakyat yang telah bertahun-tahun ditipu habis-habisan oleh para penguasanya dan tetap sabar, tidak bunuh-bunuhan, apalagi bikin perang besar. Saat Allah terharu, siapa yang mampu menahan anugerah-Nya nanti? Jadi optimis sajalah.
Surakarta, 15 Juli 2015