Saya justru berpikir gaduhnya umat Islam dengan wacana-wacana yang konyol akhir-akhir ini sebagai tanda ketidaksiapan massal terhadap teknologi informasi dan ketidakdisiplinannya berpijak pada idiom-idiom al-Quran. Akhirnya mereka sibuk ngurusin pornografilah, LGBT-lah, dan entahlah nanti kayak apa. Tidak paham tapi ribut, tidak ada urusan (aslinya) tapi akhirnya justru pusing karena diramein sendiri.
Jika kita disiplin, misalnya yang di Jawa ini tetap berpegang pada idiom-idiom khas yang diciptakan para wali/ulama tentu tidak secelaka ini. Tapi yo piye meneh, konon modern itu keren jadi Jawa itu ndeso. Padahal seharusnya modern itu ada pada tataran tindakan yang lebih bermakna dan mendukung kualitas hidup, bukan adopsi istilah dan perubahan gaya hidup menjadi hedonis. Akhirnya bahasa kita rusak akibat nggayanya kita meniru-niru mereka dan lupa berpijak pada bangunan kebudayaan sendiri yang sudah di-Islam-kan para wali.
Bahkan termasuk nggaya niru bahasa Arab kontemporer sekarang juga jadi absurd gitu, hingga melahirkan segolongan ekstrimis anti-arab. Bagi yang anti-Arab ya nggak bisa begitu, kalau Anda muslim seharusnya sadar bahasa Arab Quraisy itu wajib, wong Quran, hadits dan kitab2 ulama ditulis dalam bahasa itu kok. Tapi baik yang bergaya Arab maupun yang AntiArab aslinya sama-sama nggak paham bahasa Arab jadilah karya terjemahan untuk bahan perdebatan sengit, tafsirnya kiai anutan mereka jadi eyel-eyelan. Lucu kan.
Maka jangankan menciptakan tradisi kebudayaan baru yang baik, mempertahankan saja gagal. Saiki akhire gayeng puollll kaya ngene, sembarang diributke, sembarang ditakonke fatwane, kiaine mumet, umate males mikir, media-media semakin eksplotatif menjajah pola pikir. Selamat menikmati hiburan Ramadhan. Semoga semakin bahagia.
Surakarta, 29 Juni 2015