Tradisi ilmu dalam Islam mendidik seseorang untuk memiliki penghormatan pada pendahulunya dan sungguh-sungguh mempelajari warisan pemikiran mereka. Tetapi tidak lantas melembagakan pemikiran mereka dengan fanatik seperti yang sering terjadi hari ini, tidak juga membuat justifikasi global atas diri mereka.
Bagaimanapun, tidak ada manusia yang sempurna seperti Kanjeng Nabi, sehingga setiap ulama Islam harus dipelajari sampai tuntas dan dikaji lebih adil dan mendalam pemikiran-pemikirannya. Harus diidentifikasi mana dari warisan pemikirannya yang maslahat, mana yang madharat. Tidak asal gebyah uyah saja. Dan itu kewajiban kaum intelektual muslim.
Namun hari ini kedua metode konyol (melembagakan dan menjustifikasi gebyah uyah) itu justru banyak dipilih. Padahal itu sudah cukup membuat setiap orang yang setia menggunakannya repot dan bingung melihat kenyataan global. Jangankan untuk mengidentifikasi musuh, wong untuk saling menghargai perbedaan pendapat saja sudah mulai tidak bisa.
Alhasil, karena saking tidak sabarnya belajar, cara instannya adalah “keprukan” rame-rame kalau massa mencukupi, atau minimal “nyetempel” yang berbeda. Dan budaya ini semakin menjamur di era media sosial. Saya sendiri belajar dari kenyataan yang sebenarnya lucu atau memilukan ini. Dan jika ini dibiarkan terus membesar, bisa memunculkan konflik horizontal yang meluas (meskipun kemungkinannya kecil jika di Nusantara ini). Padahal, adakah hal yang lebih baik dari memelihara darah kaum muslimin agar tidak tertumpah sia-sia.
Benarkah Saudi sedang berperang dengan Iran karena soal akidah seperti yang sering diberitakan? Bagaimana jika kita lihat lebih luas bahwa sebenarnya AS dan Rusia sedang rebutan pengaruh di Timur Tengah. Benarkah konflik-konflik yang tengah diciptakan saat ini lebih banyak didasari permasalahan akidah? Jangan-jangan ini adalah sindikat internasional untuk proses penjajahan baru.
Karena kalau bicara soal akidah, rasanya malu. Orang modern seperti hari ini terlalu banyak dakik-dakik soal dalil, tetapi minimnya akhlak dan adab sebenarnya sudah cukup untuk menjelaskan seberapa kualitas akidahnya. Jika memang akidahnya kuat, kenapa sulit kita jumpai ulama-ulama independen yang berani menasihati dan menjadi garis depan dalam menghadapi penguasa yang zalim. Ulama yang memberi keteladanan umatnya untuk tampil menjadi sosok manusia merdeka sejati.
Sudahlah, kita akui saja, kita ini masih takut macam-macam. Ya takut mati, takut miskin, takut reputasinya hancur, takut digoreng jadi bulan-bulanan media. Dan segala macam takut yang melebihi ketakutan kita pada Allah. Ngono njuk nggedebus soal akidah, apalagi khilafah. Sudahlah, mari kembali ke diri masing-masing, serius nggak sih kita ini memperjuangkan Islam. Jangan-jangan selama ini kita memang cuma memperalat Islam untuk kepentingan kita saja? Jawab saja dari diri kita, ora sah gelut tur eyel-eyelan.
Di sinilah kita akan belajar membaca kembali, mengidentifikasi, dan menyusun prioritas. Mentransendenkan diri agar tidak larut dalam kepungan opini dan ilusi yang sering menipu kita. Ah, ini hanya igauan anak muda di hari Jumat saat nganggur.
Allahumma shalli alaa Muhammad.
Surakarta, 26 Juni 2015