Kekalahan Diponegoro dan pasukannya dari kalangan santri tanah Jawa tidak hanya membuat Kolonial Belanda berkuasa lebih besar secara politik, tetapi juga mengakibatkan kekalahan psikologis masyarakat Jawa. Padahal sebelum itu, Islam dan orang Jawa adalah satu kesatuan kultural yang bahkan orang abangan pun bangga dengan Islam dan marah jika ada yang menghina agama yang disebarkan para wali itu.
Tapi sejak Raffles datang merampok manuskrip Jawa Islam, kemudian beberapa tahun kemudian perang Jawa juga berhasil dipadamkan, kekalahan psikologis itu membuat kalangan politisi (bupati, demang, dll) dan diikuti kaum abangan yang masih belum kuat Islamnya kembali ke kepercayaan lama dan sebagian lagi mengikuti penjajahnya. Para santri yang masih tersisa berjuang mengembalikan tradisi Islam dengan membangun kembali basis-basis pesantren sehingga berbuah lagi beberapa dekade kemudian.
Wahai para kiai, ustadz dan siapa pun yang dipercaya membimbing umat. Cara dakwah dalam menyikapi persoalan umatmu hari ini tetap dilihat dan dirasakan pendekatannya oleh umat. Jika metodenya justru menunjukkan tanda-tanda kekalahan psikologis, lha bagaimana umat akan move on. Takut ini, takut itu, dengan asumsi dan agitasi yang justru membuat umat Islam semakin fobia, tidak mau mikir dan tidak sadar sadar. Umat jadi bertingkah seperti bayi yang terus-terusan minta disuapin, tak kunjung dewasa. Jika perang secara psikologis saja kalah, apa mungkin akan ada perang fisik? Paling banter ya cuma perilaku emosional dan perusakan fisik secara ilegal.
Kalau ulamanya mulai baper dan suka mewek-mewek mbribiki umatnya, lha bagaimana umatnya percaya diri. Harus mbribik kepada siapa lagi kami jika bukan kepada Allah. Masalahnya kami ini masih banyak yang bodoh dan bingung cara mbribiknya ke Allah karena kalian ribut terus untuk mengklaim dan menuding salah yang lainnya.
#SuaraWongCilik
Surakarta, 29 Juni 2015