Kalau sedulur-sedulur tukang becak, kuli pasar, hingga para petani wutun itu mendukung tokoh-tokoh politik yang berkampanye, saya husnudzon banyak dari mereka memberikan dukungan dengan tulus, sebab banyak ketidaktahuan mereka atas realita politik. Jadi tidak perlu ada komentar yang mengejek mereka sebagai rakyat bodoh dan tidak melek politik.

Yang perlu dikritik itu, ya para intelektual dan generasi zaman now yang punya akses informasi luar biasa. Sudah punya kesempatan mengakses seperti itu kok cara berpikirnya masih model pro-proan, anti-antian, dan kubu-kubuan secara fanatik kan konyol. Kaum intelektual macam begini kan lebih rendah kualitasnya dibandingkan golongan di atas tadi yang lebih tulus dalam memberikan dukungan tanpa pamrih.

Kaum intelektual itu beban moralnya berkali-kali lipat dibanding yang bukan. Mereka harus terus melakukan kajian untuk memperbaiki pemikirannya. Sebab, pendapat seseorang tidak dapat dibatalkan oleh pendapat orang lain. Yang bisa membatalkan pendapat seseorang ya ketika orang itu menyadari ada pendapat baru yang lebih tepat, sehingga dia menarik pendapat lama kemudian mengeluarkan pendapat barunya.

Banyak di antara kita yang merasa bisa membatalkan pendapat orang lain. Makanya dicarikan cara-cara voting hingga cara-cara represif melalui pembungkaman hingga pembunuhan seperti yang kebanyakan dilakukan rezim penguasa. Padahal manusia itu diberi akal agar berpikir dan memiliki pendapat. Allah kemudian menurunkan agama melalui para Nabi dan Rasul, agar dalam menggunakan akal untuk berpikir dan berpendapat, hingga menjadi tindakan, manusia tidak melakukan pemaksaan pendapat dan merusak hak-hak orang lain berpendapat.

Ketidaksadaran bahwa manusia itu punya hak berpendapat membuat konyol kehidupan sekarang dimana kita dikit-dikit mendasarkan diri pada sebuah otoritas secara buta. Lahirnya madzhab-madzhab agama atau bahkan klaim kebenaran beragama secara militeristik, tidak lepas dari ketidaksabaran kita untuk mengajak manusia berpikir sehingga mereka melakukan koreksi atas pendapat-pendapatnya sendiri. Celakanya, sejarah Nabi Muhammad yang menjalankan tugasnya di muka bumi selama 23 tahun juga cuma diisi kisah-kisah perang serta mengabaikan sisi-sisi kemanusiaan Nabi dalam menggerakkan orang Arab dari yang dikit-dikit menggunakan cara-cara perang, untuk berubah menggunakan akal dan perasaaannya, hingga akhirnya mereka bisa bersatu menjadi sebuah kekuatan besar yang mampu meruntuhkan kerajaan-kerajaan besar di kemudian hari.

Soal peperangan memang tidak pernah bisa dihindari. Tetapi peperangan yang pernah terjadi di masa-masa awal sejarah umat Islam itu berbeda dengan peperangan-peperangan setelahnya. Hugh Kennedy yang meneliti fenomena itu saja tidak kunjung menemukan jawabannya, sebab setelah umat Islam menaklukkan Persia, Yaman, dan Syams, masyarakatnya segera merubah pondasi kebudayaannya dengan Islam. Kejadian semacam itu hanya mungkin terjadi jika penduduk asli dimusnahkan lalu diisi masyarakat baru yang menjalankan kebudayaan asal. Tetapi Hugh Kennedy tidak menemukan bukti-bukti pembantaian, dan yang meneruskan tradisi Islam justru masyarakat setempat. Maka timbul pertanyaan, apa rahasia masuknya Islam di tengah-tengah masyarakat dunia? Apakah karena faktor kekuasaan atau memang sebenarnya kita kembali ke fitrah bahwa “yang bisa membatalkan pendapat seseorang ya orang itu sendiri ketika menemukan sesuatu yang baru dan diyakininya lebih baik, sehingga ia menarik pendapat lamanya dan menetapkan pendapat barunya.”

Surakarta, 24 April 2018

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.