Bapak-bapak intelektual modernis muslim negeri ini mewariskan tradisi berpikir yang unik khas Indonesia, sehingga wajah modernitas Indonesia tidak terlampau sekuler seperti negeri muslim lainnya. Sayangnya sejak beliau-beliau (Natsir, Hamka, Roem, Prawoto, Syafruddin, Rasjidi) wafat, generasi pemikir seperti beliau justru semakin sedikit. Bahkan mulai tumbuh generasi grubyak-grubyuk yang mainnya cuma lewat hashtag.
Runutan sejarah panjang negeri ini memang terlampau bias dari kenyataannya. Sehingga sebagian generasi Islam modern bahkan ada yang mencaci maki Pancasila yang jelas-jelas isinya menunjukkan kemenangan aspirasi umat Islam (karena kata adil, adab, hikmat, permusyawaratan sejatinya berangkat dari nilai-nilai Islam), padahal karena ketidakmampuan kita menelurkan para pemikir yang handal seperti Bapak-Bapak kita sehingga tidak bisa merumuskan konsep kenegaraan dan sosial yang bagus sesuai dengan luhurnya nilai-nilai Pancasila tersebut.
Kisah-kisah kesederhanaan beliau-beliau yang luar biasa dan potret ayah-ayah yang baik bagi keluarganya seolah lenyap dengan potret wajah politik Indonesia modern yang kini diisi dengan soal wanita simpanan, bagi-bagi duit, dan segala bentuk hedonisme yang sudah menjijikkan. Bahkan ketika dunia internasional sudah terlalu mencampuri dan mengadu domba bangsa ini, umat Islam sudah begitu sibuknya berpolemik satu sama lain dalam bidang apa pun hingga lupa siapa musuh sebenarnya.
Iri, dengki, dendam, marah, emosional, curigaan, dan segala sifat-sifat buruk itu mulai tumbuh dan berangsur-angsur menjadi habitat berpikir aktivis muslim negeri ini. Kecenderungan “baper” semacam ini bukan saja membuat masalah semakin runyam, tapi juga menunjukkan betapa bangsa yang dahulu gagah disegani menjadi banci yang hobinya nari-nari sambil dandan tiru sana tiru sini.
Surakarta, 26 Juni 2015