Logika orang modern tidak bisa menerima fenomena mendatangkan uang secara ajaib sebagai sesuatu yang masuk akal, karena mereka menafikan keberadaan makhluk Allah yang bernama jin, juga kemungkinan lain di mana Allah sangat mudah melakukan hal itu.
Ada seorang hamba Allah yang dikenal suka menolong, beberapa kali mendapatkan karomah di mana almari kosong, setelah dibuka ternyata ada uang sejumlah yang dibutuhkan oleh orang yang kepepet dan butuh bantuan. Tapi itu tidak menjadi kesaktiannya, karena beliau mengatakan bahwa jika yang mengadu jujur, maka insya Allah pertolongan-Nya datang.
Jadi problem klenik yang ramai diberitakan itu lebih kepada daya rusaknya pada akidah karena membuat umat terobsesi pada uang. Sumber kesyirikan manusia sekarang itu bukan lagi patung atau jin, tapi uang. Wong jin saja cuma sekedar rekanan demi menyembah uang dan kenikmatan materi. Kalau soal uang, saya percaya ia bisa didatangkan dengan cara berdoa, yang penting yakin dan serius. Bisa juga didatangkan dengan membuat pesugihan dan berbagai kerja sama yang tidak benar dengan makhluk Allah yang lain.
Di abad materialisme ini, agama menemui dua kemungkinan. Ditolak mentah-mentah karena banyak ajarannya dianggap tidak masuk akal, karena tidak dapat dibuktikan secara empirik. Atau dikomoditaskan untuk membangun berbagai paham aneh dan sesat yang ujung-ujunganya soal materialisme juga, artinya agama dikemas sebagai lipstik komoditas bisnis. Biar dapat pengikut dan laris dagangannya.
Semakin kita berusaha beragama dengan sungguh-sungguh, siap-siap dihujat oleh semua pihak karena pertengahannya sikap kita. Jika beragama mengikuti mainstream, kita masih punya teman untuk saling adu jotos. Tapi kalau kita mulai mendalami sungguh-sungguh, kita akan sampai pada titik di mana cuma Allah satu-satunya yang bisa diandalkan sebagai sahabat, pelindung, dan penasihat kita.
Apalagi ini adalah zaman ketika ilusi benar-benar mendominasi. Beruntunglah jika kita sudah bisa melihat awan gelap yang menyelimuti dunia saat ini. Dulu saya menganggap itu khayal, tapi ternyata tidak. Dan yang mengerti hal ini justru orang-orang biasa yang dianggap bodoh dalam alam berpikir modern. Mereka lebih peka terhadap urusan kehidupan karena keikhlasan dan totalitas kehidupan mereka sebagai manusia.
Solo, 30 September 2016