Polemik “Islam Nusantara” semakin seru karena bahasa Indonesia memang menawarkan pola frase DM. Sehingga ketika kata Islam diterangkan oleh kata Nusantara menjadi seru banget. Sementara kata Nusantara sendiri itu multitafsir tur ra jelas definisine.
Makanya saat kemarin ditanya adik tingkat, “Mas, setuju nggak sama Islam Nusantara?”. Aku jawab, aku ora duwe minat berkubu soal istilah kuwi, soale kuwi dudu bendera sing kudu tak dukung apa tak tolak. Ning tak telusuri sak akeh2e kicauan para winasis bab Islam Nusantara. Sementara ini aku dapat keterangan (tanpa saya kait2kan dengan Islam Nusantara
1. Ternyata ulama-ulama kita di masa lalu banyak menulis kitab tafsir, fiqih, dan karya lainnya, baik dalam bahasa Arab maupun bahasa lokal dan memakai huruf Jawi (arab melayu) maupun aksara lokal. Ternyata ulama kita nggak kalah produktif lho dibanding para ulama timur tengah. Dan otomatis mereka memberikan kontribusi besar dalam menjaga warisan budaya lokal yang sejalan dengan Islam dan mengganti budaya lokal yang bertentangan dengan Islam dengan rumusan konsep baru yang sesuai dengan Islam.
2. Banyak kisah sejarah yang terlupakan bagaimana para ulama yg diutus ke kepulauan Nusantara melakukan studi kemasyarakatan secara baik sehingga mereka berhasil mengkreasi budaya baru untuk mengikat masyarakat pada Islam sehingga Islam melekat kuat di jiwa masyarakat Nusantara sebagai identitas primer kehidupan mereka. Masyarakat yang sudah menjadikan Islam sebagai identitas primer kultural (seperti bangsa Arab ketika berjaya), akan relatif sulit ditaklukkan secara fisik karena mereka rela mati demi keyakinannya sekalipun kehidupannya penuh penderitaan.
Jika yang menjadi substansi Islam Nusantara adalah dua hal di atas, maka bolehlah dipakai. Tapi sepertinya wacana yang digulirkan adalah untuk membentuk gerakan anti-Arab dan ada tokoh-tokoh liberal yang bermain kata-kata untuk menguji emosi umat, terutama para alim ulamanya. Kalau anti-Arab ya nggak usah nyeret2 Islam kali. Islam itu konsep universal untuk membina kehidupan peradaban manusia lintas zaman. Jangan digunakan untuk memuaskan nafsu kebencian dan keliberalan pikir.
Sebelum ini, istilah “Islami” & “syariah” udah dikooptasi untuk kepentingan kapitalisme, njuk istilah “akbar” dicomot nggo event. Saiki malah sisan dicatut istilahe “Islam” nggo nggawe polemik. Suk apa meneh bakale, stok idiom-idiom ajaran Islam masih banyak. Kedisiplinan kita dalam berbahasa diuji. Ulama dituntut menemukan formulasi sosial yang tepat untuk menangkal gejala “SALAH FOKUS” massal ini. Mari banyak belajar.
Surakarta, 22 Juni 2015