Suatu ketika Rasulullah, bersama Abu Bakar, Umar, dan Utsman berada di bukit Uhud. Tiba-tiba terjadi gempa. Maka Rasulullah pun menyeru kepada bukit Uhud, “wahai Uhud, tenanglah di atasmu ada seorang Rasul, seorang shiddiq, dan dua orang syahid.” Bukit Uhud pun tenang dan tak berguncang lagi. Dan tak terbilang lagi berapa kali makhluk Allah (baik yang dalam sudut padang manusia yang mengaku “modern” disebut benda hidup maupun benda mati) berinteraksi kepada Rasulullah.
Suatu ketika Umar bin Khattab tengah berdiskusi dengan beberapa sahabat Rasulullah. Tiba-tiba terjadi gempa bumi. Umar pun menepuk tanah dan berkata, “hai bumi, diamlah, apa kamu tidak melihat bahwa di atasmu orang-orang mulia nan adil sedang berdiskusi terkait masalah umat?”. Bumi pun diam dan tidak bergoncang lagi. Saat Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi pemimpin umat Islam, para serigala pun menghormati beliau dengan tidak melakukan aktivitas perampokannya dalam memangsa kambing para penggembala, dan para penggembala pun tahu bahwa sedang ada raja adil yang memimpin umat, sekalipun ia tak tahu siapanya.
Demikianlah, kepemimpinan umat saat dipegang oleh para khalifah sejati, yakni mereka yang memahami hakikat kosmologi kehidupan. Mereka yang memahami kepemimpimpinan itu sebagai sebuah titipan “kewenangan” sementara dari Allah. Sehingga dengan izin-Nya, bumi ini pun mengabdi dan memberikan penghormata kepada para pemimpin itu sesuai dengan tingkat kemuliaannya. Konsep ini nyaris mustahil diterima oleh manusia-manusia modern dan postmodern zaman sekarang.
Bahkan di kalangan umat Islam sendiri yang hari ini cenderung menganggap orang mati sebagai orang mati saja tanpa ada sebuah kesan bahwa sebenarnya mereka tetap hidup, hanya di pisahkan hakikat alamnya. Itulah mengapa saat Rasulullah wafat dan dimakamkan di kamar istrinya, Aisyah ummul mukminin beliau masih tetap membuka hijab saat di rumah. Saat Abu Bakar, ayahnya wafat dan dimakamkan di samping makam Rasulullah, Aisyah juga masih tetap membuka hijab saat di rumah. Begitu Umar bin Khattab wafat dan dimakamkan di samping kedua sahabatnya itu (atas perkenan Aisyah), Aisyah pun menggunakan hijab hingga akhir hayatnya. Jika orang mati hanya benda mati, maka untuk apa Aisyah memakai hijab di rumahnya sendiri (kata orang yang mengaku “modern”, itu nggak efisien).
Konsep ini ternyata juga dipahami oleh para penguasa di Nusantara, khususnya yang saya ketahui di tanah Jawa. Tak jarang mereka memperhatikan perilaku gunung dan benda-benda alam ini untuk menjadi salah satu pertimbangan kebijakan mereka. Bahkan saat Sultan Agung Hanyokrokusuma berkuasa, muncul sebuah konsep BEBRAYAN AGENG, yakni hidup secara harmoni dengan seluruh komponen di alam semesta ini. Mitologi Nyi Roro Kidul itu pun sebenarnya fenomena yang tidak harus ditolak secara mentah-mentah, karena jika ia memang ada mengapa harus ditolak. Yang menjadi syirik adalah jika kita takut dengannya, percaya dengannya, dan melakukan ritual-ritual kesyirikan untuk bertemu dengannya. Tapi meletakkan pikiran secara obyektif bahwa makhluk semacam itu mungkin saja “ada” itu lebih selamat.
Karena hingga hari ini, siapa yang bisa menjamin bahwa ilmu Biologi benar 100 %? Sehingga pembagian makhluk hidup hanya mencapai 5 kingdom (menurut buku biologi SMA yang pernah saya pelajari). Sebagaimana ilmu Fisika, siapa yang menjamin bahwa kecepatan cahaya adalah yang tercepat di alam semesta? Siapa yang menjamin bahwa gaya nuklir kuat adalah gaya terbesar di alam semesta ini? Bukankah itu baru kesimpulan sebatas manusia melakukan eksplorasi dengan alat dan kemampuan akal yang dimilikinya sejauh ini. Apakah ilmu-ilmu itu mampu memahami hakikat isra’ mi’raj Nabi Muhammad SAW, terbelahnya laut saat Musa AS memukulkan tongkatnya, atau bahkan fenomena batu Ponari yang bisa menjadi wasilah kesembuhan ribuan orang yang datang berobat ke Jombang. Bukankah itu fakta (jika kita percaya pada Quran dan realita yang ada)? Tapi hakikatnya masih misteri kan. Isoh po kowe njelaske hubungane Buraq mbi jarak dan waktu tempuh Isra’ Mi’raj, belum lagi prosesi yang dijalani nabi saat menjadi imam shalat para Nabi, mumet ra sirahmu? Isoh po kowe njelaske hubungane tongkat dipukulkan ke laut dan lautnya terbelah? Isoh po kowe njelaske hubungane batu dicelupke neng air njet aire diminum dan peminumnya sembuh?
Jika ribuan dokter menentang praktek pengobatan Ponari, maka sangat masuk akal. Alasan ekonomi rek. Jika ulama ramai-ramai menghukumi syirik, sing syirik sapa? Apakah ulama bisa memastikan setiap orang yang datang ke ponari memiliki struktur berpikir bahwa Ponari dan batunya dapat menyembuhkan sakitnya? Lalu apa bedanya dengan orang yang memiliki struktur berpikir bahwa jika ia sakit datang ke dokter, diperiksa dan diberi obat maka akan sembuh sakitnya? Bedane apa. Itu kan sama-sama perilaku syirik. Apa tidak ada kemungkinan bahwa orang yang datang ke tempat Ponari adalah orang yang di dalam hatinya 100 % yakin kepada Allah sebagai pemberi kesembuhan, dan ia menembuh semacam tirakat dengan jauh-jauh ke Jombang untuk mendapatkan air yang dicelupi batu tersebut. Apakah itu salah? Katanya tidak pernah dilakukan di zaman nabi, itu bid’ah. Yo nek cara menjustifikasi bid’ah mung praktis ngunu sembarang ilmu-ilmu alat dari nahwu, sharaf, aqidah, ushul fiqih, ilmu mustholah hadits dll kuwi yo bid’ah, wong penyusunannya oleh para ulama setelah Rasulullah.
Sekali lagi, kita sesungguhnya masih diliputi banyak ketidaktahuan. Tetapi kita buru-buru menjustifikasi ketidaktahuan kita dengan negasi. Bahkan terkadang negasi-negasi kita mengambil idiom yang itu menjadi domain Allah. Kita buru-buru menghukumi orang lain salah dengan sebatas kultwit singkat tanpa mengetahui keseluruhan pemikiran kehidupannya. Kita buru-buru menghukumi segala sesuatu hal secara pasti hanya dengan ilmu-ilmu yang berangkat dari sudut pandang empiris-materialistik. Akibatnya hari ini mungkin sulit dijumpai lagi ekonomi, politik, dan kebudayaan yang didasari dengan nilai Islam yang luhur.
Yang ada kebanyakan saat ini adalah segala kamuflase yang dijadikan alat kapitalisme baru dengan label “Islami”, “Syariah”, “Akbar” dan sembarang istilah yang dicuri dari idiom-idiom al-Quran dan Sunnah. Jane mung pengin dodolan, tetapi melihat semangat manusia yang sedang mencari Islam-nya, maka marketing menggunakan idiom-idiom Islam mendadak menjadi laris. Apalagi di Nusantara ini umat Islam adalah mayoritas dan kaya raya. Hari ini segala hal bisa dijual, maka berhati-hatilah membeli dan memilih dagangan. Karena jual beli kita bisa menghancurkan konsep BEBRAYAN AGENG yang sebenarnya menjadi ruh kehidupan alam semesta ini. Pun saya menggunakan istilah ini, bisa jadi saya akan dicap kejawen, penganut Islam Nusantara, dan anti Arab.
Di era padatan seperti sekarang, seorang dihukumi mutlak secara pribadi, sehingga begitu terkena cap liberal, sesat, atau apalah, maka seluruh pemikirannya salah, sekalipun kata-kata liberalnya hanya 10-20 % dari seluruh sumbangsih pemikirannya. Sebaliknya, seorang yang kadung digelar sebagai kiai, habib, ulama ditempatkan melebihi Nabi. Karena di masa Nabi saja, orang-orang yang jelas-jelas menjadi pengikut setia yang setiap hari menimba ilmu itu disebut sebagai sahabat, dan yang belajar dari sahabat di sebut tabi’in (orang yang mengikuti sahabat). Nah sekarang kadang kalau tidak hati-hati kita menempatkan ustadz, kiai, dan para tokoh agama bak dewa yang menjamin kehidupan keagamaan kita, padahal mereka tidak lebih mulia dari generasi salafus shalih itu. Dan yang paling lucu adalah generasi hari ini yang seolah pernah nonton video kehidupan para generasi para salafus shalih itu sehingga memiliki previlege untuk menghukumi yang selainnya sebagai kaum yang “belum benar”.
Semoga mulai tahun ini dan seterusnya, semakin timbul kesadaran di hati kita untuk kembali membangun BEBRAYAN AGENG. Melihat alam yang hari ini disebut sebagai benda mati, yang perilakunya hanya dicap sebagai fenomena biasa, yang kemarahannya hanya dicap sebagai gejala alam saja, sungguh itu penghinaan kepada makhluk Allah. Jika nganggur, sempatkanlah untuk berjalan dengan sepeda motor Anda dari arah Kartosura ke Boyolali, pandanglah kegagahan Merapi dan Merbabu. Bayangkan jika ia marah, dan Allah mengizinkannya untuk melancarkan aksi kemarahannya. Mau jadi apa kita yang di bawah ini.
Jika ini kita anggap klenik. Maka barangkali kita memang telah menjadi manusia “modern” bahkan “postmodern” yang mendaku muslim saja. Dan saya tidak tahu, dan tidak pernah tertarik untuk menjadi makhluk semacam itu, karena saya tidak bisa membayangkan bagaimana makhluk semacam itu memandang Allah. Untunglah Allah itu icon kebesarannya ar-Rahman dan ar-Rahim. Seandainya icon kebesarannya al-Azis dan asy-Syadid, wis ra iso dibayangke meneh. Nggilani tenan awake dewe ki.
Surakarta, 18 Juni 2015