Ikut jadi bagian tim yang “ngedengerin” pembahasan soal pendidikan anak dan fenomena keluarga di daerah penyangga yang mulai kehilangan jatidirinya memang bikin miris. Anak kelas V SD dibiarkan menyetir mobil ugal-ugalan di jalanan desa, nongkrong sama anak-anak dewasa yang putus sekolah, dan hingga urusan keluarga-keluarga yang broken home.
Tidak mudah memang menjadi pendidik yang siap sedia 7 x 24 jam, menerima curhatan buanyakkkk dari para orang tua yang kebingungan dengan anak-anaknya dan lingkungannya yang parah. Lebih pusing lagi anaknya dititipkan ke sekolah, tapi orang-orang tuanya tidak mau peduli dan tidak mau diajak bekerja sama untuk mengurus anak mereka sendiri. Mereka taunya bayar duit, lebih parah lagi malah ada yang malas bayar dan ngemplang.
Makanya saya salut pada kawan-kawan saya yang mewakafkan waktunya untuk proyek sejarah peradaban yang sangat penting ini. Mereka bekerja dalam sunyi, tidak bakal diekspos oleh para wartawan dan tidak tentu bakal diapresiasi oleh negara, karena kerja semacam ini sungguh-sungguh sangat berat. Saya hanya bisa ikut bersimpati sambil berbagi tentang perjuangan mereka selama ini.
Sampai-sampai saya ikutan mikir, kok orang tua sekarang menjadikan anak-anaknya mirip ATM kehidupan. Mayoritas anak-anak diproyeksikan orang tuanya lebih untuk kepentingan materialistik. Cita-cita mereka sejak kecil dibangun tidak untuk sebuah proyek peradaban yang bersifat sosial, tapi selalu jabatan, gelar, dan tentu saja kekayaan. Sehingga anak-anak tumbuh tidak dalam fitrahnya, ada yang kebetulan benar-benar sukses secara materi, tak sedikit pula yang putus di tengah jalan, jadi anak liar atau malah stres dan bunuh diri.
Sebagai jomblo saja, yang merasa belum menemukan jodoh yang cocok, saya sudah ngeri membayangkan bagaimana di akhirat nanti Allah menghadirkan anak sebagai saksi yang memberatkan hukuman bagi orang tuanya. Sebagaimana kita tahu, anak adalah kepunyaan Allah yang dititipkan pada orang tua untuk dibimbing agar nanti ketemu sama Allah-nya kembali. Jika itu gagal lalu sang anak rusak, kelak di akhirat mereka berhak untuk menuntut orang tuanya. Cobalah kita berimajinasi Allah menginterogasi begini,
“Kamu itu, tak titipin anak ini, tak fasilitasi kehidupan yang berkecukupan, tak kasih segala yang kamu butuhkan, malah nggak kamu tunaikan tugasmu menjaga titipanku,” kira-kira seperti itu interogasi yang Allah lakukan dalam imajinasi sastraku.
“Iya tuh ya Allah, mereka dulu setiap hari cuma mendidik aku dengan target-target materi, sampai aku dewasa ga bisa mengenali-Mu. Akhirnya aku harus siap menanggung siksa-Mu”, demikian kesaksian sang anak.
Itu belum lagi dengan kerancuan kehidupan hari ini, seperti yang baru saja terjadi siang tadi. Serombongan orang-orang yang telah bergelar Haji melakukan pelatihan manasik kepada para calon haji. Mereka makan sambil berdiri dan jalan-jalan, lalu tanpa merasa berdosa meninggalkan lokasi yang digunakan dengan sampah yang berserakan. Padahal itu lokasi publik yang tidak ada pengelolanya, yang seyogyanya dirawat bersama. Haji-haji yang semacam ini apa yang dimaksud oleh A.A Navis dalam Robohnya Surau Kami itu?
Saya tak paham dengan kerumitan pendidikan hari ini yang makin tidak jelas arahnya. Sebenarnya pendidikan itu untuk siapa dan tanggung jawab siapa. Sebelum negara begitu dominan seperti sekarang dan siaran televisi belum berkuasa di rumah-rumah penduduk, dahulu banyak orang tua yang masih berdaulat mendidik anak-anaknya sendiri terutama soal budi pekerti dan kemandirian. Sekolah bukanlah hal primer dalam kehidupan mereka, yang penting mereka rajin mengaji dan selalu berbakti pada orang tua.
Kerumitan pendidikan semacam ini sebenarnya akan selesai ketika setiap orang tua mulai berpikir untuk mempersiapkan kurikulum yang baik bagi anak-anaknya sendiri. Karena Allah tidak akan bertanya anaknya bergelar jadi apa, tapi apa saja gelarnya sudah ngapain selama hidup di dunianya. Apa jasa sosialnya untuk kehidupan manusia?
Juwiring, 28 Juli 2016