Konon, pemerintah AS itu mencetak dollar dengan dasar hutang. Hutang ke siapa? Ya itu. Pastinya dia lebih berkuasa dari AS dong, wong bisa menghutangi no.
Demikian pula pemerintah negara-negara Eropa. Mereka punya cadangan emas untuk menjamin mata uang mereka. Tetapi masih kurang, jadinya mereka hutang juga. Kepada siapa? Pastinya sama dengan yang dihutangi oleh AS.
Yang menarik adalah AS dan Uni Eropa rajin menghutangi negara-negara bekas koloninya. Misalnya Indonesia, dulu diberi tanggungan hutang dari Pemerintah Hindia Belanda. Boleh berdiri sebagai negara sendiri, asal mau menyaur hutang-hutang pemerintah Hindia Belanda selama berkuasa. Pemerintah Indonesia mau dan baru lunas di akhir pemerintahan Presiden Soeharto.
Negara-negara Asia dan Afrika yang miskin-miskin setelah merdeka itu rata-rata bukan karena keadaan miskinnya, tetapi karena terjebak hutang yang dikucurkan dengan dalih bantuan untuk pembangunan dari negara-negara maju itu maupun dari lembaga keuangan internasional yang dananya juga dari negara-negara maju. Uang hutangan itu dikumpulkan untuk dihutangkan lagi. Terjadilah silsilah tekan menekan di mana yang paling dirugikan adalah negara penerima hutang terakhir, sebab kalau gagal bayar yang dicaplok adalah aset SDA negaranya dan kontrol ekonomi-politiknya.
Indonesia sebenarnya lumayan, belum tertekan banget seperti sebagian negara Asia dan Afrika yang kini sudah ajur-ajuran. Tapi atas alasan apa ya, kemarin demi membeli perusahaan yang secara “kekuatan negara” bisa dipaksa negosiasi atau dinasionalisasi sekalian (seperti zaman Bung Karno), malah hutang besar sekali kepada para-para yang dihutangi Eropa demi membeli perusahaan itu.
Saya cuma cemas bahwa tradisi hutang itu telah membudaya. Pemerintah kita sudah menunjukkan buktinya bahwa berhutang itu menyenangkan. Pokoknya hutang lagi dan lagi. Nah, masalahnya rakyat pun sekarang juga senang hutang. Kalau hutang untuk bisnis mungkin masih masuk. Lha ini hutang untuk hal-hal yang konsumtif semata je.
Padahal tidak ada hutang yang tidak berbunga hari ini. Kecuali hutang budi.
Surakarta, 23 Desember 2018