Saya sebenarnya bukan orang yang rajin bersih-bersih. Menyapu, ngelap, dan ngepel bukanlah hal yang begitu saya gandrungi. Saya melakukannya secara berkala saja.

Tetapi saya selalu gelisah ketika melihat sampah plastik bertebaran. Sayangnya, ketika masih jomblo, hasrat mengurusi sampah plastik itu belum begitu besar. Maklum cuma anak kos dan numpang. Apalagi masih jomblo. Kesepian.

Begitu menikah, ternyata istri bisa diajak untuk memberi perhatian serius tentang sampah. Jadilah sampah-sampah di rumah diklasifikasikan menjadi 4 jenis.

1. Sampah organik, dimasukkan jugangan di kebun agar membusuk.

2. Sampah kertas diberikan ke penjual tempe untuk bahan bakar obor-obornya.

3. Sampah plastik kering dimasukkan ke botol menjadi ecobrick. Sebenarnya ada banyak ide untuk ini, tapi yang paling mudah dan bisa dikerjakan adalah dibuat ecobrick.

4. Sampah plastik basah, dengan berat hati harus dibuang di tempat sampah depan rumah untuk diangkut petugas. Sebenarnya saya menyadari ini hanya kemalasan saya. Seandainya kober mencuci dan mengeringkannya, nisaya ia bisa ikut dimasukkan ke botol. Tapi memang saya masih cukup malas.

Ternyata, istri saya malah punya ide lebih bagus lagi. Adik bungsunya diajak juga untuk mengamankan sampah plastik di rumahnya sendiri. Nanti setiap botol penuh dan saya periksa kepadatannya memenuhi, maka ecobrck-nya dibeli oleh istri saya. Namun tidak diberi uang cash, hanya ditulis dalam catatan tabungan. Suatu saat dapat dicairkan kalau sudah cukup banyak dan dia sudah mampu mengelola uang sendiri.

Kesadaran tentang sampah ini ternyata membuka ruang kontemplasi saya pada banyak hal. Melihat sampah yang menggunung di TPA (terutama didominasi sampah plastik), dengan baunya yang lumayan itu sering membuat saya miris. Belum lagi kalau motoran, ada orang-orang kaya dengan mobil mewah membuang bekas botol atau plastik minuman lewat jendela. Betapa menyedihkannya kita ini.

Dari kasus sampah inilah saya jadi mengerti bahwa urusan politik itu sekarang memang benar-benar mirip sampah itu. Karena terhadap sampah saja kita itu tidak memiliki perhatian yang memadai, maka terhadap politik pun kita juga bodoh. Bangsa kita meskipun sudah menyelenggarakan negara hingga 73 tahun, tapi mentalnya tetap feodal dan tidak berkembang mengikuti gagasan demokrasi yang dibangun.

Kasus-kasus yang didominasi isu SARA remeh temeh itu menunjukkan betapa kita janjane ya mung nyampah. Apalagi sekarang menjelang pilpres, postingan-postingan sampah bertebaran. Jelas itu bukan hal menarik bagi saya. Tapi, ada satu aksi yang hingga hari ini berkesan bagi saya, sejak diadakan pada tahun 2016 kemarin. Bagi saya, aksi itu menarik dari sisi kedisiplinan peserta merawat fasilitas dan menjaga kebersihannya. Tidak lebih dari itu.

Agenda yang mereka usung dan bau politisasi yang berkembang bukanlah hal menarik bagi saya. Saya cuma fokus pada aksi itu berjalan baik dan tidak menimbulkan sampah berserakan. Sebab di aksi-aksi yang lain saya belum benar-benar menemukan adanya kesadaran untuk membersihkan sampahnya sendiri-sendiri sebagus di aksi 212 itu. Setahu saya, aksi-aksi yang mengumpulkan massa besar selalu meninggalkan sampah berserakan dan murni dibersihkan oleh petugas sampah saja.

Bagi saya, perkara sampah saat ini adalah hal yang sangat penting. Sebab selain penting untuk menjaga bumi dari berbagai pencemaran, kepedulian terhadap sampah, terutama sampah plastik yang susah diurai itu menunjukkan karakter kita. Dengan berjibunnya sampah plastik di ruang publik seperti sekarang, itu bisa menjadi penanda karakter umum kita, yaitu suka ambil yang kita sukai, lalu membuang sisanya untuk menjadi masalah bagi orang lain. Mentalitas semacam itu kalau dibawa ke urusan politik jadi malapetaka. Dan itu sedang kita alami bersama seperti sekarang ini.

Meskipun Islam itu memperhatikan kebersihan, saya kok sejauh mengaji belum pernah mendapatkan khusus bahasan terkait sampah. Kebanyakan sisi kebersihan yang diajarkan para ustadz adalah kebersihan diri sendiri. Tapi tidak membahas soal sampah dan tanggung jawab sebagai makhluk pembuat sampah. Kita hanya diajari untuk membuang sampah di tempatnya dan menyerahkan pada orang lain untuk menyelesaikannya. Kita tidak diajari untuk menekan sampah yang kita buang keluar.

Saya cukup gelisah melihat fenomena sampah plastik yang menggila ini. Perkara sampah plastik ini saya kira tidak akan menarik bagi para politisi. Sebab pabrik-pabrik plastik kebanyakan dimiliki para cukong yang menghidupi para politisi. Jadi jangan berharap pemerintah akan menggagas masalah ini. Persoalan sampah plastik adalah persoalan masa depan. Kita semua punya beban tanggung jawab untuk mengatasinya. Atau anak cucu kita besok hidup di lingkungan yang tidak sehat.

Surakarta, 3 Desember 2018

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.