Di sekolah-sekolah, guru-guru Pendidikan Kewarganegaraan tidak pernah bercerita tentang negara, bahwa negara itu sebenarnya hanya sesuatu yang imajinatif. Ia bisa batal dalam sekejab jika rakyat satu negara tidak mengakuinya.
Menjadi warga negara yang baik itu perlu. Tapi ya negaranya dipastikan dulu statusnya sehat apa tidak. Kalau negaranya sakit, status warga negara dicopot dulu lah. Saatnya jadi rakyat. Nah, sejak saya sekolah, guru-guru juga tidak pernah menjelaskan perbedaan rakyat dengan warga negara.
Sekolah tidak selalu menjadi solusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Lagi pula yang wajib itu belajar, dan belajar tidak sama dengan bersekolah. Jadi jika sekolah justru menghambat generasi muda untuk belajar banyak hal, membolos bisa dipilih. Silahkan membolos sekolah selama musim tanam padi. Sejak bertanam sampai panen itu adalah masa belajar dan praktik yang nyata.
Membolos itu hanya melanggar aturan sekolah. Tetapi tidak mau belajar banyak hal, tidak memiliki keterampilan, menjadi pengangguran, dan membebani masyarakat menurut saya itu adalah pelanggaran kemanusiaan dan pelanggaran perjanjian bernegara. Memboloslah dengan cara terhormat, karena hari ini banyak anak-anak muda membolos akibat putus asa dengan kehidupan sekolahnya sehingga terjerumus dalam kehidupan rusak-rusakan.
Di sekolah alam, kami sangat senang jika orang tua mulai sering memintakan izin anaknya tidak masuk sepekan hingga sebulan karena orang tua punya proyek pendidikan sendiri bagi anak-anaknya. Kami tidak keberatan siswa tidak masuk lama, asal setelah masuk nanti orang tua memberikan laporan bahwa anaknya telah belajar banyak hal dan melakukan berbagai aktivitas yang bermanfaat bagi hidupnya kelak. Anak itu tanggung jawab orang tua, kenapa orang tua sekarang rela kehilangan kebahagiaan bersama dengan anak-anaknya, dan merasa cukup dengan membiarkan anak-anaknya diisi kepalanya dengan aneka informasi berbahaya bikinan pemerintah.
Itulah anehnya pendidikan di zaman ini. Dan hampir secara keseluruhan kehidupan manusia modern itu aneh, tidak rasional, dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara kemanusiaan. Sehingga di berbagai bidang terjadi kerusakan yang sangat parah. Sementara mayoritas orang selalu percaya bahwa kekuasaan akan mampu membereskan itu semua. Betapa koplaknya cara berpikir manusia di zaman ini.
Tapi, karena ini sudah menjadi mainstream, maka justru kamilah yang akan dicap aneh oleh kebanyakan orang. Karena di era pencitraan dan medsos, kebenaran itu bukan dilandasi akal, tapi mana yang umumnya dianut orang banyak. Bahkan kebenaran Islam baru diakui jika diembel-embeli dengan istilah Jumhur dan ditahbiskan dengan dukungan orang banyak di muka publik. Betapa para Nabi di alam sana heran, “Islam macam apa yang kebenarannya ditentukan oleh suara terbanyak? Saya dulu sendirian dan bertaruh nyawa untuk membawanya ke tengah-tengah manusia. Lha manusia sekarang dikit-dikit hestek dan hajar sana sini dengan label. Yang tidak sependapat dicap sesat.”
Juwiring, 26 November 2016