Sebagai manusia yang dititahkan lahir oleh Allah sebagai bagian dari bangsa Jawa dan dengan kebudayaan Jawa, saya menyadari bahwa personalitas ini tidak bisa saya tolak, karena ini doktrin ilahiyah. Itulah mengapa, setelah menjalani berbagai peristiwa kehidupan di alam Jawa ini dan membandingkan nuansa di tempat-tempat lain di belahan dunia yang saya kunjungi, saya sadar bahwa perasaan dan nuansa batin saya akan lebih terekspresikan dengan bahasa Jawa.
Maka dari itu, justru semakin dewasa ini dalam berkomunikasi lisan dengan lingkungan sehari-sehari saya lebih suka menggunakan bahasa Jawa dari pada bahasa lainnya. Bahkan menerjemahkan al Quran pun saya lebih merasakan nuansa maknanya dengan bahasa Jawa. Bahasa tulis pun, termasuk status di Fesbuk sering saya campur dengan bahasa Jawa. Saya bukan fanatik Jawa, tapi realitas Jawa sebagai kebudayaan adalah hal yang melekat dalam diri saya sebagai sunnatullah.
Kadang saya berkhayal betapa indahnya ketika setiap bangsa di negeri ini mengabadikan cerita dan kebudayaan mereka secara sastra dan tradisi. Lalu kita lebih banyak berbagi cerita, bertukar kisah leluhur, dan saling menghadiahi karya kebudayaan masing-masing agar dapat meredam gejolak politik di antara kita yang kian tidak bermutu ini. Tapi apa boleh buat, ini zaman modern. Zaman di mana LGBT muncul, HAM muncul, dan berbagai ajaran rumit manusia pintar yang membuat manusia tidak lagi percaya dengan kemanusiannya dan lupa pada pijakan kehidupan leluhurnya.
Saya bersyukur menjadi pewaris bahasa yang tua ini. Bahkan kata NGGRAGAS saja bisa menjadi kata pokok yang menjelaskan atas banyak perbuatan tercela yang dilarang Allah dalam al Quran. Cobalah cari padanan kata yang pas dalam bahasa Inggris, Arab, maupun bahasa asing lain untuk kata NGGRAGAS tersebut. Kata tersebut secara nuansa pun sungguh sangat tidak mengenakkan kita dengar, tapi karena selama ini tidak kita kenal, kita tanpa sadar menjadi manusia yang suka nggragas.
Juwiring, 5 Agustus 2016