The Hobbit dan The Lord of The Rings adalah dua trilogi film yang menurutku cukup mendalam untuk digali inspirasinya. Silahkan ditonton sepuasnya di akhir pekan, sambil ndelik di suatu tempat yang tidak diganggu agar khusyu’ dalam mengikuti jalan ceritanya.
Memang filmnya super fiktif jika dilihat dari sisi realitas, tapi sesungguhnya mengandung hal-hal yang sangat realistis dan aktual untuk memahami apa yang sedang dan selalu berlangsung hari ini. Terutama ketika manusia sudah menuhankan materi.
Ketika di kampus saya sering sekali mengikuti training-training kepemimpinan yang secara garis besar sama, membangkitkan kesadaran orang kelas menengah untuk merasa bisa memimpin orang yang dianggap kelas bawah. Tapi setelah terjun di masyarakat, menyelinap dan menguping pembicaraan orang-orang di hik dan yang hobi dekeman, saya mendapatkan alternatif lain yang lebih realistis tentang kepemimpinan.
Pada dasarnya setiap manusia itu memang pemimpin bagi dirinya sendiri, maka seharusnya antar manusia berlaku hubungan egaliter seperti yang dicontohkan Rasulullah dan para sahabat. Penghormatan antar manusia itu berlaku secara obyektif karena pencapaian dan kualitas laku sosial manusianya, bukan pada embel-embel gelar yang disandangnya.
Kualitas ini dapat dikenali secara fisik dan ruhani. Makanya orang yang mengetahui maqam orang lain secara ruhani, tidak merasa pusing dengan orang lain yang belum bisa mengetahui apa yang dilihatnya. Karena setiap orang bertanggung jawab atas dirinya sendiri untuk berproses hingga mengenal diri dan menempatkan dirinya dalam jagad pengabdian.
Manusia-manusia yang menemukan kesadaran “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu” dan “kullukum rain wa kullukum masulun min riayatih” tidak akan bersedia tunduk di bawah kekuasaan mana pun. Mereka lebih memilih memastikan untuk berusaha berbuat baik pada siapa pun, tanpa perlu meratifikasi perjanjian para penguasa yang setiap zaman akan berebut kekuasaan. Manusia-manusia ini menikmati kemerdekaannya di setiap waktu. Itulah mengapa mereka sanggup berkata sesuai prinsip mereka, tidak peduli jika kata-katanya akan menyebabkan penguasa tempatan murka dan memenjarakan mereka.
Allah menjadikan manusia secara fitrah dalam konsep “syu’ub” dan “qabaail” yang sebenarnya tidak sekedar diterjemahkan dalam arti bangsa seperti model nasion sekarang serta suku-suku dalam pengertian suku sekarang. Syu’ub mengandung makna tentang kekhasan hidup manusia akibat interaksinya dengan alam. Sedangkan qabail mengandung makna fakta sejarah bahwa garis keturunan manusia memiliki jalan takdirnya dan perannya sendiri-sendiri di muka bumi. Tapi kenyataannya, manusia modern hidup tidak dengan dua kesadaran itu lagi, melainkan dengan imajinasi liarnya sehingga mereka berambisi menaklukkan alam dan apa pun demi kepentingan dirinya sendiri.
Sehingga konsep kepemimpinan yang Allah tanamkan sebagai bentuk pengendalian agar interaksi antar manusia merdeka ini teratur dan indah, bergeser menjadi wujud-wujud kekuasaan yang disalahgunakan karena kesalahan orientasi. Setiap manusia yang salah orientasi berlomba untuk menjadi Tuhan dan menguasai manusia lainnya entah dengan label raja, juragan, bahkan dengan baju ulama sekalipun.
Hal yang selalu kupegangi bahwa Rasulullah memanggil orang-orang di sekitarnya dengan sahabat dan kadang-kadang saudara. Bukan dengan ungkapan yang bermakna anak buah, bawahan, bala dupakan, atau yang sejenisnya. Itulah mengapa seharusnya kita menjalani hidup, setara satu sama lain dengan penghormatan atas penglihatan kita secara obyektif, lewat pandangan fisik dan ruhani kita.
Juwiring, 8 November 2017