Dengan kesadaran bahwa manusia itu akan mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri-sendiri di akhirat, seharusnya tidak perlu ada fanatisme kelompok-kelompokan yang justru menjauhkan kita dari Allah.
Yang mungkin dilakukan adalah bersatu dalam cinta pada yang diikutinya. Kepada pengikut Rasulullah Muhammad, ya sebaiknya saling berhimpun fokus dalam mengaktualisasikan cinta pada beliau. Begitu dihijab oleh madzhab, ormas, tokoh anu, negara anu, partai anu, dll maka di situlah kesyirikan terjadi.
Kalau mau fair melihat, situasi umat Islam hari ini jauh dipenuhi kesyirikan secara pemikiran. Masih mending kaum kapitalis tulen yang sejak melek tuhannya adalah MATERI, jadi ya mereka bakal fokus menyembah pada tuhan maha agung itu. Lha kita ini yang ngakunya Islam, bertuhan Allah, tapi keyakinannya abal-abal dan asline rada-rada syirik walau setengah hati.
Apa nggak lebih ngenes hingga akhirnya cuma jadi pelengkap penderita, gampang fanatik pro-proan anti-antian, hingga benci-bencian. Akhirnya dieksploitasi ekonominya lewat bisnis-bisnis berbasis agama, dieksploitasi dukungannya untuk membangun kerajaan-kerajaan bisnis atas nama agama, dan segala manipulasi konyol yang sebenarnya sangat mudah dilihat jika kita pakai akal sehat.
Cukuplah pakai dengkul, kalau ada orang membenci seseorang, lalu kita diajak membencinya kok kita langsung mau-maunya ikut begitu, berarti kita aslinya memang tidak berdaulat atas diri kita sendiri. Kebencian adalah penyakit laten manusia, dan hanya dengkul yang bisa menjelaskan orang rela memasukkan penyakit berbahaya itu ke dalam dirinya. Kalau pakai akal sehat, kalau kita lagi terseret arus kebencian, pasti mengupayakan segala cara untuk sembuh dan tidak lagi terjangkit.
Kesyirikan yang berbahaya adalah kesombongan-kesombongan yang melekat pada diri kita sehingga kita kehilangan sikap khauf atas berbagai hal dalam hidup, serta kehilangan sikap raja’ karena terlalu membabi buta untuk merasa menjadi rekanannya malaikat.
Juwiring, 30 Agustus 2017