Manusia itu ibarat hardware dengan otak sebagai prosesornya. Akal dan hati itu adalah sistem operasi default manusia. Syariat agama adalah aplikasi tune up, defender dan antivirusnya.
Di zaman Nabi Adam dan generasi awal-awal manusia, Allah tidak banyak menurunkan aneka aturan agama, karena akal dan hati manusia masih beroperasi normal. Setiap bentuk kekafiran sangat jelas terlihat, sehingga Allah pun membinasakannya akibat kekafiran mereka yang nyata.
Di zaman ini, akal dan hati manusia itu sendiri kebanyakan sudah rusak hingga mendekati stadium IV. Sehingga diinstall aplikasi super yang sudah ada manual booknya (al Quran dan Hadits) selengkap itu, cara kerjanya ya tetap nganu. Masak iya, atas nama kebenaran kok merendahkan dan menyakiti manusia lain. Malah atas nama Tuhan, membom hotel dan tempat ibadah. Itu kan dasare sistem operasinya memang sudah bosok.
Lebih sangar lagi sekarang syariat agama bisa disalahgunakan untuk mengelabui manusia. Karena sistem operasinya mengalami malfungsi, akibatnya agama tidak lagi berfungsi sebagai tuneup dan antivirus, tapi beroperasi sesuai dengan kesalahan fungsinya sistem operasi. Jadinya ya pasti cuma nganu-nganu.
Bukankah kita itu sebenarnya ibarat komputer supercanggihnya Allah. Kan setiap hal yang kita lakukan semua dalam “izin”-Nya. Jadi sebenarnya fungsi kita hidup di dunia saat ini terletak pada urusan input atau pada mekanisme internal sistem operasi kita? Jawabannya akan menjadi landasam kita berpijak. Ketika sistem operasi kita sehat, virus yang masuk sekalipun bisa diatasi. Kalau sistem operasi kita rusak, meskipun aneka data penting masuk ya nggak jelas karena tidak bisa dikelola dan dibaca.
Kalau kita ikhlas jadi “komputer”nya Allah, harusnya kita rela dong diberi input oleh-Nya dan menjaga kestabilan sistem operasi kita. Bukan malah jalan sendiri dan merasa jadi autobot yang merasa tak bertuan.
Juwiring, 31 Agustus 2017