Ulama adalah pewaris para nabi. Lalu aku bertanya, siapa pewaris para Rasul? Ketika sekolah, kita dicekoki definisi aneh tentang Nabi dan Rasul kan, yang itu bikin tumpul nalar kita. Kalau tidak salah definisinya nabi adalah orang yang diberi wahyu untuk dirinya sendiri dan rasul adalah orang yang diberi wahyu untuk disampaikan pada umat. Definisi ini mungkin benar, tapi tidak fungsional untuk dipahami umat.

Bagaimana jika Nabi kita terjemahkan sebagai fungsi keilmuan. Artinya Nabi adalah orang-orang yang menjadi pintu sampainya ilmu dari Allah kepada manusia. Makanya sepeninggal Nabi, pelanjutnya selalu ada yaitu ulama, mereka yang diberi ilmu. Beda Nabi dan ulama ada pada kadar keyakinan ilmunya. Jika Nabi itu sumbernya A1, maka ulama adalah A2, A3 dst.

Dengan analogi yang sama, maka kita bisa mempelajari karakter Rasul dari al-Quran. Kisah-kisah yang disebutkan di sana adalah fungsi kerasulan, yaitu penegakan aturan Allah kepada manusia dan jin. Karena Allah “menugaskan Iblis” lewat kutukan itu sehingga dia membisiki keburukan, maka pasti ada manusia yang suka menyeleweng. Para Rasul ditugaskan untuk mengingatkan manusia agar kembali ke jalan normalnya. Jika situasi darurat, maka para Rasul itu bisa meminta keadilan pada Allah, atau Allah sendiri yang menegakkan kekuasaannya atas manusia yang membangkang. Setelah era kerasulan berakhir, siapa penerusnya? Ya berarti para wali dan penguasa yang adil. Rasul pasti juga Nabi, maka menurut saya para wali dan penguasa yang adil biasanya juga ulama.

Dalam referensi Islam, jumlah Nabi yang diutus mencapai ratusan ribu. Sedangkan jumlah Rasul yang disepakati para ulama ada 25. Analogi ini bisa dipakai untuk membaca zaman bahwa setiap zaman pasti selalu ada ulama, tapi tidak mesti ada wali dan penguasa yang adil. Sehingga sepeninggal Rasulullah, umat Islam dan peradaban manusia secara umum mengalami pasang surut kehidupan. Ada masa kegelapan juga, ketika penguasa-penguasa zalim bertahta dan menyiksa ulama serta membantai umat Islam. Maka dari ratusan penguasa muslim setelah khalifah empat yang lurus, hanya beberapa gelintir saja yang harum dikenang sejarah, misalnya Umar bin Abdul Aziz, Harun al Rasyid, Shalahuddin al Ayyubi, dan Muhammad al Fatih.

Konsekuensinya, penegakan kehidupan itu terletak pada pembangunan manusia. Dakwah itu bagaimana membentuk komunitas yang orang per orangnya berdaulat, bukan merekayasa komunitas lewat pendekatan kekuasaan semata, lalu ada sejumlah orang jadi bawahan satu orang yang berkuasa. Ada negara atau tidak bukan sesuatu yang utama. Kekuasaan hanya alat yang bisa bermanfaat ketika dipegang para penerus rasul tadi. Selebihnya, pasti menimbulkan mudlarat panjang yang kita saksikan sendiri dalam sejarah bagaimana ketika kekuasaan dipegang oleh orang zalim dan mendominasi kehidupan. Apalagi zaman ini, jangan-jangan kita sudah musyrik berat karena begitu dominannya urusan materi dan kekuasaan menjajah akal sehat kita.

Rasulullah tercinta mengabarkan bahwa di akhir zaman, ilmu Allah akan diangkat dengan cara diwafatkannya ulama. Jika kita beriman pada perkataan beliau, berarti zaman ini adalah zaman yang penuh tipu daya. Artinya jika kata-kata ulama mendadak jadi trend dan viral, kira-kira kita harus makin waspada atau malah ikut meramaikan suasana? Coba kita renungkan.

Mau kita rame-rame jadi umat Islam, LPJ-an di hadapan Allah tetaplah sendiri-sendiri. Sekalipun ada hadits yang mengatakan bahwa seorang bisa menyelamatkan saudara seiman dari siksa neraka, tapi persyaratan atas keimanan yang murni tetap lebih didahulukan bukan? Jadi, coba kita renungi, apa kita benar-benar sudah beriman pada Allah dengan hanif?

Ngawen, 26 Juni 2017

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.