Dalam narasi teks-teks Jawa kuna, terdapat banyak informasi yang kualitasnya jauh lebih bermutu dibandingkan pengetahuan orang-orang modern tentang kehidupan manusia. Manusia memang dikaruniai oleh Allah potensi internal yang luar biasa.
Dengan kesadaran akan berbagai potensi dalam dirinya, maka manusia sadar akan tanggung jawabnya sendiri-sendiri. Mereka tidak lagi akan mudah diadu domba dengan pendekatan bendera negara, kelompok ormas/madzhab, atau bahkan perkubuan politik pada musim pemilu.
Setiap manusia mengerti akan tugasnya sendiri-sendiri dengan mempelajari nasab kehidupan leluhurnya. Itulah mengapa Allah menginformasikan bahwa derivasi manusia dalam kata syu’ub dan qobail. Syu’ub merujuk pada kondisi bahwa manusia ketika mendiami suatu wilayah mereka akan mengalami harmonisasi dengan kondisi wilayah itu hingga melahirkan tradisi kebudayaan khasnya. Sedangkan qobail merujuk pada sistem garis keturunan. Allah menyuruh mereka saling mengenali agar tidak terjadi pertumpahan darah satu sama lain, karena hakikatnya mereka berasal dari bapak dan ibu yang sama (Adam – Hawa)
Ketidaktahuan generasi Nusantara sekarang terhadap leluhurnya, membuat mereka tak mampu menghadang tipu daya dari Dajjal yang menawarkan teknologi-teknologi eksternal yang sebenarnya menipu. Kita hari ini terjebak pada anggapan bahwa yang disebut canggih adalah apa yang terjadi di luar diri manusia dengan membuat senjata, mesin, dan segala hal yang harus mengorbankan alam dan kehidupan manusia. Pesatnya pertumbuhan teknologi eksternal ini didorong dengan cara berpikir yang sangat syirik yaitu materialisme, yang membuat manusia memberhalakan materi.
Karena begitu sempitnya cara berpikir kita yang dibatasi oleh konsep materialisme, ketika kita mendapatkan informasi Rasulullah yang mampu memandang bintang-bintang secara detil dengan kemampuan penglihatannya, kita tidak mencoba menelusuri sebab-akibatnya. Kalau ada manusia lain yang bisa berbuat mendekati itu lantas dicap syirik. Padahal ternyata itu adalah hal lumrah yang bisa diasah manusia ketika ia peka dengan dirinya sendiri.
Ketika diinformasikan bahwa Rasulullah bisa bercakap-cakap dengan batu, tumbuhan, gunung, dan benda-benda yang dianggap mati, kita pun juga hanya mencukupkan diri dengan menyebut bahwa itu keistimewaan yang Allah berikan kepada beliau. Padahal setiap manusia bisa melakukan hal-hal semacam itu, walau tentu tidak sesempurna Rasulullah yang memang disiapkan menjadi manusia paripurna dengan pengenalannya atas dirinya sendiri. Tinggal bagaimana manusia mampu mengenali dirinya dan peka untuk mengasah pontensialitas yang ditakdirkan oleh Allah.
Hari ini, begitu kuatnya teknologi eksternal mendominasi kehidupan manusia, kita menjadi sangat ketergantungan dengan segala hal di luar diri kita. Kita begitu tergantung dengan berbagai wasilah fisik untuk memenuhi kebutuhan kita. Lalu kalau kita melihat orang lain mengoptimalkan potensialitas dirinya, kita mudah menuduhnya sedang melakukan transaksi dengan jin dan makhluk lainnya. Padahal tidak selalu seperti itu, tergantung dari cara berpikir manusia itu sendiri. Justru lebih syirik orang-orang modern yang kalau sakit selalu percaya dengan dokter ahli dan obat-obatan mahal. Karena menganggap bahwa itu adalah satu-satunya jalan Allah memberikan kesembuhan. Padahal ada begitu banyak cara terhampar.
Kini, kita telah memasuki abad kematian teknologi internal. Abad dimana teknologi-teknologi eksternal dibangun sedemikian pesat sehingga menipu panca-indera manusia. Sebelum ajaran Rasulullah sampai di Nusantara, leluhur-leluhur bangsa ini ternyata sudah mendapatkan informasi tauhidi itu. Itulah mengapa ketika para wali berhasil membuka password pemahaman itu dalam bahasa lokal, terjadilah migrasi keyakinan secara besar-besaran, karena di sana ada proses penyesuaian kode-kode saja.
Teknologi-teknologi internal itu sebenarnya memungkinkan bangsa ini untuk survive, karena ia berkaitan dengan metabolisme tubuh, sistem pertahanan tubuh, optimalisasi fungsi organ, hingga teknik-teknik manual dalam bertani, mengolah logam, dan mengenali antariksa. NASA sendiri bisa menemukan banyak galaksi dan bintang beberapa tahun terakhir, juga setelah mereka mendapatkan informasi dari salah satu teks Jawa Kuna yang diterjemahkan oleh salah satu filolog Indonesia, hanya saja NASA tidak akan mengakuinya.
Begitu susahnya meyakinkan bangsa Garuda ini, karena sudah bangga menjadi emprit. Begitu bangganya menjadi emprit, diinjak-injaklah martabat leluhur sendiri sambil mengemis-ngemis kepada para anak buah Dajjal.
Juwiring, 28 Agustus 2017