Artikel Mbah Nun tentang Ilmu Aurat dan Peradaban Kebijaksanaan menggiring saya pada ayat 13 al Hujurat tentang penciptaan manusia yang berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar bertaaruf.

Poin yang saya garis bawahi adalah dengan Islam, hendaknya kita kembali menjadi manusia yang berakal sehat, sehingga dari bangsa dan suku mana pun, dan itu juga berarti dari kelompok, parpol, bahkan institusi “agama” apa pun, kita kembali mewakili diri kita sendiri untuk saling berjanji dan bersepakat hidup bersama dengan nilai-nilai keadilan. Tidak lagi main keroyokan dan fanatisme buta.

Ketika manusia hidup dengan keyakinan dirinya yang berlandaskan nilai kebaikan, maka seharusnya tidak akan sering terjadi konflik. Kita lupa bahwa dalam 23 tahun dakwah Nabi, hanya ada sekitar 53 peperangan yang berlangsung, artinya rata-rata setahun cuma 2 kali perang. Jauh lebih kecil dibandingkan dengan masa sebelumnya ketika bangsa Arab mudah berperang, beristri tanpa batas, dan melakukan serangkaian penindasan kemanusiaan lainnya. Itulah revolusi Islam, bahwa hidup itu ya bertanggung jawab secara pribadi, tidak main keroyokan, bolo-boloan, dan banyak-banyakan.

Istilah koalisi antar golongan dan dialog antar umat beragama, dengan sendirinya adalah hal lucu meskipun sekarang lumrah adanya. Yang seharusnya berdialog adalah manusia-manusianya agar kita tidak lagi dijebak oleh adu domba kubu-kubuan yang naif seperti sekarang. Sehingga membela rakyat Palestina yang mati dibunuh oleh tentara Zionis, ya sama halnya dengan kita membela rakyat negeri mana pun yang dibunuh secara keji, karena kesadaran kita sebagai manusia tidak mengizinkan pembunuhan secara zalim. Keyakinan kita pada kebenaran tidak ditentukan dan dipengaruhi oleh banyak sedikitnya pendukung dan ada tidaknya institusi kekuasaan apa pun. Itulah hakikat iman, percaya pada Allah seutuhnya.

Islam adalah software sistem operasi yang jika digunakan oleh manusia yang akalnya sehat dia akan menyelamatkan dan mengamankan kehidupan sebagaimana yang tertera dalam al Quran dan kisah kehidupan Kanjeng Nabi. Nabi sendiri adalah manusia paripurna yang membuktikan dirinya layak mengaplikasikan syariat Islam setelah 40 tahun berproses. Nah, hari ini, sepertinya kita pun lupa untuk tumbuh menjadi manusia, sehingga cara kita beragama pun memang tidak lagi seperti seharusnya manusia beragama. Sehingga kebudayaan global kita hari ini mirip kehidupan Zombie, atau hewan, atau terkadang malah sekedar mesin-mesin robotik.

Juwiring, 12 Agustus 2017

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses