Mengapa Rasulullah memilih berunding di Hudaibiyah, di saat umat Islam yang menyertainya sudah bersumpah untuk membelanya sampai mati?
Mengapa Ali bin Abi Thalib menyetujui perundingan saat pasukannya hampir menang melawan pasukan Muawiyah, justru ia akhirnya dibunuh oleh bekas pasukannya sendiri yang kecewa?
Mengapa Hassan bin Ali memilih mengakui kepemimpinan Muawiyah sebagai khalifah umat Islam, di saat banyak umat Islam membaiatnya agar menegakkan kembali kepemimpinan ayahnya karena pengaruhnya yang sangat besar?
Mengapa Imam Ahmad bin Hanbal memilih menjalani hukuman penjara, di saat para sipir mempersilahkannya kabur, para utusan daerah memintanya mencabut baiat agar sang Khalifah zalim sah dikudeta di bawah pengaruhnya, hingga jutaan rakyat siap pasang badan membelanya?
Mengapa Sunan Kalijaga yang memiliki segala potensi untuk menjadi raja diraja pada masanya, justru memilih hanya menjadi penasihat raja saja ketika terjadi transformasi kepemimpinan dari Majapahit ke Demak hingga akhirnya harus rela gagasan transformasinya kandas dengan lahirnya Mataram yang berkiblat ke Ratu Kidul?
Mengapa Gus Dur memilih keluar istana dengan celana kolor dan kaos oblong setelah dibujuk sang pembawa cincin untuk “naik pangkat” saja, ketika sebagian besar warga NU bersiap-siap untuk mengepung Jakarta dan mempertahankan kedudukannya sebagai presiden setelah MPR memakzulkannya?
Sepertinya Gus Dur yang mewakili memberi jawaban untuk mereka semua, “tidak ada jabatan di dunia yang sedemikian berharganya, sehingga harus dipertahankan mati-matian”. Tidak perlu mati-matian untuk mempertahankan eksistensi jika itu hanya menyangkut kepentingan pribadi dan duniawi kita.
Orang yang kuat adalah orang yang sanggup menguasai dirinya dari menimbulkan mudharat yang lebih besar meskipun secara obyektif mereka sebenarnya bisa berbuat atas nama KEBENARAN. Mereka yang lebih mengutamakan kemaslahatan banyak orang dan mengusahakan cara-cara sehalus mungkin untuk mengatasi keadaan.
Hari ini, yang kita saksikan bukanlah orang-orang yang kuat, tetapi orang-orang yang lemah akalnya dan begitu tergila-gila dengan jabatan. Mereka menjilat sana sini dan begitu rakus dalam mereguk materi dunia. Sampai-sampai menggunakan agama untuk melegitimasi semua tindakan yang tidak tahu malu semacam itu.
Firaun-Firaun kecil kini bermunculan. Jika Firaun di masa lalu sangat bertanggung jawab dengan kesombongannya, para Firaun sekarang itu hobinya ndobos dengan segala janji-janji palsunya untuk menipu banyak orang. Mereka bertebaran di gedung parlemen, di kantor-kantor pemerintah, bahkan tak jarang juga nangkring di rumah-rumah ibadah.
Juwiring, 14 Agustus 2017