Sepemahaman saya, proses lahirnya kepemimpinan berdasarkan kisah-kisah permulaan dakwah Rasulullah itu sangat sederhana. Ini bukan untuk dikomparasi dengan sistem negara modern yang supermanipulatif kayak sekarang, tapi lebih ke memahami esensinya.
Ketika itu, orang mengenali keunggulan seseorang secara utuh, misalnya dari keluhuran nasab dan karakternya, prestasi pertarungannya, dan keluasan wawasannya. Semua teruji langsung di depan mata, bukan katanya-katanya televisi, apalagi Facebook, sebab jaman itu belum ada. Maka proses kepemimpinan itu tetap dimulai dari skala yang kecil.
Lalu ketika ada sosok yang dianggap paling unggul seperti itu, orang berbondong-bondong bersumpah padanya, biasanya diikuti jabat tangan atau dengan tradisi lainnya. “Aku bersumpah setia padamu, siap mengikuti perintahmu, selama engkau memberi jaminan kebaikan dan keamanan untukku dan keluargaku”. Orang-orang yang melakukan sumpah setia (baiat) itu biasanya mengutarakan hajatnya masing-masing sebagai semacam panjer kesetiaan mereka. Tokoh yang dibaiat ini secara otomatis menjadi pemimpin dengan tanggungan panjer para pemberi baiat tadi.
Bagaimana jika ada dua atau lebih tokoh yang setara dalam satu wilayah kekuasaan. Bisa jadi para tokoh ini langsung beradu sampai salah satu kalah atau mati. Bisa juga masing-masing punya pengikut lalu terjadi perang hingga ada yang menang dan diakui yang kalah. Bisa juga salah satu atau salah dua tokoh lainnya langsung berbaiat kepada satu tokoh yang dianggap paling unggul, tanpa harus diawali dengan peperangan. Hierarki ini berlaku semakin ke atas diwakili oleh pemimpinnya. Sehingga ketika ada seorang raja bisa bertahta, aslinya karena dibaiat tokoh-tokoh yang sudah punya pengikut di bawahnya.
Ketika Islam diajarkan Rasulullah, yang direvolusi pertama-tama adalah agar dalam berbaiat kita tidak asal setia secara buta. Masing-masing pribadi punya kewajiban ber-Islam menurut kemampuan masing-masing. Sehingga baiat seseorang pada orang lain yang dianggap unggul sebagai pemimpin punya syarat dan ketentuan, yaitu selama berkomitmen dengan pembelaan pada kaum yang tertindas dan mampu bersikap adil. Jika mulai zalim dan suka bermewah-mewah, maka yang pernah berbaiat dipersilahkan menariknya kembali. Dalam skala kepemimpinan yang besar biasanya ditandai dengan lepasnya wilayah dan kadang diikuti dengan peperangan. Atau terkadang bahkan terjadi pengambilalihan kekuasaan.
Keteladanan yang diajarkan oleh Nabi adalah membentuk manusia-manusia yang merdeka. Sehingga kepemimpinan berhak diwarisi setiap manusia. Sehingga proses baiat itu lebih ke wujud formalitasnya agar umat Islam punya sistem administrasi yang jelas. Setiap muslim harus mampu mewujudkan kepemimpinan dalam dirinya untuk selalu berpihak pada kebenaran dan menjamin keamanan jiwa, kehormatan, dan harta manusia lainnya. Konsep ini diwarisi para ulama. Makanya di setiap zaman tidak ada ceritanya ulama mau tunduk secara buta pada penguasa. Meskipun diikuti umat, ulama juga tidak bersedia dibaiat seperti para penguasa. Sehingga umat akan melihat kualitas para penguasa dari sikap para ulama terhadap penguasa pada zamannya.
Nah, pertanyaannya, apakah sebenarnya sila keempat Pancasila memenuhi kaidah ini? Secara prinsip iya. Tapi teknis di bawahnya yang belum tepat sejak dulu, karena penerapannya dengan pemilu. Apakah pemilu bisa mewakili model baiat? Tidak. Karena rakyat tidak punya kesempatan memberikan mandat. Kan rakyat cuma mencoblos/ mencentang dengan harapan kosong. Yang masuk akal adalah dimulai baiat atau penyerahan mandat kepada seseorang oleh sekelompok warga sehingga ia layak jadi ketua RT, ketua-ketua RT memberi mandat salah satu mereka sebagai ketua RW, terus ke atas sampai presiden melalui serangkaian proses musyawarah tanpa harus disertai pembagian kekuasaan ala Montesqu. Jadi tidak perlu ada kandidat yang dipaksa kampanye memantas-mantaskan diri, tidak perlu menyusun program yang dijual ke pemilih, wong setiap baiat itu sendiri sudah berisi masalah yang harus ditanggung dan diselesaikan oleh si penerima mandat. Jadi tidak perlu ada pencitraan. Itulah kepemimpinan yang diamanatkan dalam Pancasila.
Tapi itu semua hanya khayalan saya. Sekali lagi khayalan saya. Karena realita kepemimpinan di negeri ini emejingnya bukan main. Saya tidak bisa memahami keabsurdannya. Sebagai warga bumi yang manut sama Allah sebagai bos saya, saya berusaha menikmati ujian sebagai warga negara Indonesia. Saya bersyukur diuji dengan disuruh menjadi orang Jawa, berbangsa Indonesia, dan hidup di zaman pemerintah NKRI.
Solo, 31 Juli 2017