Banyak sekali hadits yang mengaitkan relasi iman dengan amal-amal sosial. Termasuk bahkan ciri khas mukmin itu adalah ketika orang di sekitarnya aman jiwanya dari penganiayaan, aman hartanya dari perampasan, dan aman martabatnya dari pelecehan.
Jika dikaitkan dengan tugas kekhalifahan yang Allah tetapkan pada setiap manusia, yang diberi keterangan tegas bahwa setiap diri adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban, maka sepertinya ada cara pandang kepemimpinan yang harus diperbaiki, bahkan direvolusi agar tidak bikin ruwet seperti sekarang.
Tercapainya kesadaran iman dan peran sebagai mukmin secara optimal manakala manusia bisa mereduksi segala potensi kekuasaan yang ada dalam diri mereka sendiri. Kepemimpinan yang terbaik itu adalah menahan diri, bukan mengatur orang lain. Betapa banyak pertengkaran yang terjadi saat ini karena ketidakmampuan kita mengendalikan diri dan kebiasaan mengatur orang lain secara berlebihan.
Bahkan jika pun harus mengatur orang lain, yang bisa dilakukan adalah kepada keluarga dan orang-orang yang bersepakat dengan kita atas perjanjian tertentu. Makanya konsep pernikahan sebenarnya bukan hanya untuk laki-laki perempuan yang mau hidup berumah tangga dan menghasilkan keturunan. Bermasyarakat dan bernegara pun perlu akad nikah. Apalagi bertani dan memanfaatkan alam untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Lha rumangsane alam itu ga ada walinya po? Kok langsung do dieksploitasi tanpa ampun.
Tapi apa daya. Hari ini hampir-hampir syahadat kita kalau nggak “tiada sesembahan selain uang/materi” ya “tiada sesembahan selain kekuasaan/kedudukan atas manusia lainnya”. Tidak usah melihat orang lain, lihat saja diri kita yang makin hari makin manja dan tergantung apa-apa, sehingga mudah mengeluhkan banyak hal, mulai dari kerusakan lingkungan, bobroknya negara, dll. Tapi sudahkah kita memastikan diri kita optimis untuk terus mendekat pada kehendak-Nya?
Silahkan ada jutaan tausiyah agama dan ribuan channel yang berkembang di era ini. Toh yang pasti terlihat di depan mata kita itu lebih dekat dengan urusan dodolan. Apa kita ndak cemas, jangan-jangan sebenarnya kita memang kaum yang memang sudah tidak beriman, saking banyaknya hijab materi dan mudahnya ditipu aneka fatamorgana ini. Tapi kalau ndak cemas ndak apa-apa, biarkan saya yang cemas.
Jika api meminta haknya, angin meminta haknya, air meminta haknya, dan bumi/ tanah meminta haknya, semoga nama kita tidak disebut dalam permohonan mereka kepada Allah. Karena keempatnya bukan benda mati seperti teori modern yang ateistik.
Ngawen, 26 Juni 2017