Mengapa hari ini hanya shalawat yang bisa kita andalkan sebagai senjata? Mengapa hanya syafaat Kanjeng Nabi yang bisa dijagakke. Mengapa pula perlu keridhoan untuk menerima segala takdir Allah atas kita?
Karena selain dua hal itu kita kan harap-harap cemas. Okelah, katakanlah kita punya senjata lainnya yaitu doa. Tapi bukankah Nabi bersabda bahwa pengabulan doa dipersyarati oleh makanan dan pakaian yang halal dan bebas riba kan.
Nah sekarang coba identifikasi, unsur apa dari kehidupan kita ini yang tidak kecipratan fasad? Makanan, yakin itu pasti halal dan thayyib baik prosesnya maupun cara memperolehnya? Pakaian, yakin di sebalik pakaian yang kita pakai tidak ada cerita penindasan manusia maupun perusakan alam? Coba diperluas lagi. Pantas ga Allah mengabulkan permohonan-permohonan kita dengan kondisi yang belepotan kayak gitu?
Maka dari itu, aneh sekali jika zaman ini kita merasa sangat percaya diri dengan amalan-amalannya sendiri. Kok bisa-bisanya itu lho. Apalagi bikin kavling, kita begitu yakin masuk syurga, yang situ ndak, yang itu sesat, dll. Itu aliran keyakinan cap apa coba? Bukankah cara berpikir semacam itu menandakan kesombongan, persis seperti Azazil sebelum akhirnya dikutuk oleh Allah dan diberi “tugas” menjalani peran Iblis sepanjang masa.
Kalau ada yang terlalu yakin dengan doanya sendiri dan merasa dikabulkan, cobalah untuk berendah hati, barangkali ada satu kekasih Allah yang masih hidup saat ini dan doanya mustajab. Doanya adalah “ya Allah, kabulkanlah keinginan yang baik-baik hamba-hamba-Mu”. Mengapa kita sok GR banget sih dengan apa yang kita capai, sementara kondisi kita belepotan parah kayak gini.
Juwiring, 2 Maret 2017