Memang tidak ada kata terlambat selagi nyawa belum di tenggorokan. Begitupun kesadaran peradaban, mungkin belum terlambat sebelum kehancuran total datang. Perlahan kita syukuri diri kita, saudara kita, dan teman kita belajar mengkhalifahi kehidupan agar tidak terlampau hancur dengan peradaban materialisme yang begitu merusak saat ini.

Geli-geli gimana gitu, melihat artikelnya Cak Nun yang berjudul SAYA ANTI DEMOKRASI mendadak diposting ramai-ramai di mana-mana. Semoga dari tulisan beliau, kita semua tertuntun untuk melihat ke belakang lebih luas dan jernih, membuangi prasangka yang terlalu kotor hingga hari ini antar sesama muslim malah saling mencurigai luar biasa.

Jangan sampai sarkasmenya Kang Sobari benar-benar terjadi pada diri kita. Ketika itu beliau berseloroh di hadapan Cak Nun, “Kowe ki kok yo betah-betahmen jagongan ngasi nerbitke buku nggo wong-wong budeg. Aku ki sing nyawang kowe lho Cak, kesel dewe.” Ketika mengomentari buku Indonesia Bagian Dari Desa Saya. Cak Nun membalas, “Yo usaha rek. Nek ket biyen do gelem nggugu lan waspada, yo jane ra ngasi cilaka banget kaya saiki”.

Usia-usia beliau sudah sepuh, dan banyak para bijak yang telah mendahului. Apalagi para pendiri negara ini, mereka telah berlalu dan (mungkin) dilupakan. Dan hingga tahun 2015, kita belum sepakat betul tentang garis besar sejarah dan leluhur kita. Mengapa? Karena gelut dan berlaku yang esktrim-ekstrim itu memang sesuatu. Nggak asyik kayaknya hidup kalau nggak ngrusuhi liyane, demikian Sabda Paman Sam yang kerap diikuti.

Surakarta, 25 Juli 2015

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.