Setiap hal itu memiliki hulu-hilirnya. Akal adalah alat utama manusia agar mempertimbangkan hulu dan hilir setiap hal yang dihadapi. Jangan sampai cuma berpegang pada hilir tapi lupa hulu, jangan pula ribut di hulu tanpa kejelasan di hilir. Islam adalah pemandu akal agar terus bekerja meneliti hulu dan hilir itu, sehingga tidak ada ceritanya jadi muslim tapi kok berhenti berpikir dan bergerak.

Sekedar contoh, pada perkara nasi, perkara hilirnya adalah makanan yang siap kita lahap. Hukum asalnya halal untuk dimakan. Tapi jika ditelusur ke hulunya, belum tentu lho hukum asal itu masih berlaku. Misalnya, fakta hulunya adalah nasi itu dari beras curian. Atau nasi itu dari beras impor yang kita beli di swalayan modern, sementara tetangga kita yang petani megap-megap karena hasil panen padinya terjun bebas.

Tentu hak Anda juga seandianya mau cuek soal perkara hulu, sehingga kalau makan biar tinggal ngemplok mak leb, sing penting wareg. Dan kalau soal tanya hukum fikih, banyak sekali yang berfatwa hukum makan nasi cuma dari dzatnya saja. Mereka akan keluarkan dalil-dalil yang begitu banyak, karena sekarang aplikasi ensiklopedia dalil sudah tersedia. Lebih mudah nyari dalilnya ketimbang investigasi mencari informasi hulu soal nasi tersebut sebagai pertimbangan hukum.

Nah, itu baru urusan nasi. Banyak hal lain yang kita jumpai sejak mata ini melek sadar sampai tidur lagi kan. Jadi, apakah kita mau jadi tukang fatwa bagi orang lain? Apakah waktu kita masih tersisa setelah riset hulu dan berijtihad agar bisa memfatwai diri sendiri sehingga hidup kita tidak tersesat terlalu jauh. Tapi mengapa di zaman sosmed ini proporsi untuk memfatwai orang lain jauh lebih dominan dari pada diri sendiri ya?

Ngawen, 14 Januari 2017

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.