Dalam al Quran, umat Islam zaman nabi itu digambarkan sebagai umat yang transenden. Artinya kehidupan yang mereka bangun itu atas dasar kemandirian dan peperangan yang terjadi karena pertaruhan harga diri sebagai seorang muslim.
Dalam sejarah Nabi, umat Islam tidak pernah memboikot musuh secara ekonomi. Jadi meski pasukannya sedang berperang, pedagang-pedagang Madinah tetap bebas berdagang dengan pedagang pihak musuh untuk komoditas kebutuhan hidup sehari-hari. Justru pihak musuhlah yang pernah memblokade Madinah gila-gilaan.
Belum lagi jika bicara aturan-aturan perang, betapa santunnya umat Islam kala itu. Sehingga perang itu sendiri adalah dakwah karena bisa dibayangkan betapa sulitnya menjadi pasukan muslim yang kalau perang tidak boleh merusak tanaman, tidak boleh menghancurkan tempat-tempat ibadah, tidak boleh membunuh wanita, anak-anak, orang tua, dan tokoh agama, tidak boleh membunuh musuh yang sudah menyerah. Siapa yang tidak tersentuh melihat pasukan yang begitu manusiawi dalam berperang seperti ini.
Itulah mengapa para ulama pasti melarang perang di hari ini. Di samping karena serangan yang sedang berlangsung bukan serangan fisik, peperangan dengan senjata-senjata modern itu pasti melanggar aturan-aturan perang yang digariskan Nabi. Ulama-ulama hanya akan menyerukan perang, jika kedaulatan fisik kita diinjak-injak seperti di zaman kolonialisme. Atau tanah kita dirampas seperti yang dialami saudara-saudara kita di Palestina dan beberapa kawasan lain. Tapi tidak akan ada seruan perang untuk memerangi saudara-saudara sesama muslim, walau beda madzhab sangat jauh sekalipun. Jika ada, pasti cuma dari satu dua orang yang sedang khilaf. Atau memang dia yang justru sesat.
Hari ini, yang diinjak-injak adalah akal sehat kita, maka perlawanannya ya dengan perbaikan cara berpikir kita, bukan dengan ngamuk-ngamuk di depan orang banyak. Kita diserang dengan berbagai cara berpikir yang bertentangan dengan akal sehat dengan jargon “modern” dan segala anak turunnya.
Juwiring, 4 Januari 2017