Jika sudah bermaiyah, seharusnya kita mengambil posisi untuk selalu melihat baik buruk dari setiap hal. Jangan benci berlebihan dan cinta berlebihan atas hal-hal yang wadag dalam kehidupan. Cinta buta dan total itu hanya untuk Allah dan Kanjeng Nabi. Untuk hal yang wadag itu tetap harus dipahami dalam dua hal, sisi baik dan sisi buruknya.
Maka jika dengan bermaiyah kok kamu justru merasa elit mentang-mentang jadi muridnya Mbah Nun itu ya tidak ada bedanya dengan golongan lain yang merasa paling benar sendiri dengan pemahamannya. Bukankah maiyah itu membangun dialog-dialog antar umat Islam dan antar umat beragama yang selama ini tertutup ketika gerakan terlalu diformalkan dalam institusi-institusi sosial sehingga melahirkan aneka konflik horizontal dari yang sifatnya ejekan lisan dan tulisan hingga adu fisik.
Apa para ulama kita di zaman dahulu mencontohkan sikap menghadapi perbedaan dengan cara brutal semacam itu. Yang arogan terhadap perbedaan adalah para penguasa yang tak segan-segan menumpas dan membantai yang lain. Tapi para ulama kita saling berbantahan dengan cerdas dan tahu adab di mana mereka saling menjaga kehormatan saudara-saudaranya. Maiyah itu jembatan untuk menyatukan umat, bukan menjadi madzhab baru yang menambah ketatnya persaingan antar ormas yang sekarang lagi rebutan pamor dan jumlah umat. Maiyah itu majelis yang mempertemukan hati, bukan parpol yang mengkalkulasi jumlah suara.
Semoga kelak dari rahim majelis ini, Nusantara yang menjadi benteng terakhir peradaban Islam ini tidak dihancurkan oleh aneka tipu daya Dajjal dan Ya’juj dan Ma’juj yang kini sedang mengonsentrasikan dirinya untuk menghancurkan bangsa Arab sehingga kelak musnah dari muka bumi. Tak sadarkah wahai anak-anak Nusantara bahwa amanat kebangkitan kelak lahir dari tanah ini ketika semua bangsa digiring dalam perang nuklir maha dahsyat yang tinggal menghitung mundur tanggal mulainya?
Juwiring, 2 November 2016