Kebayang ga seandainya di zaman ini ada seorang ayah mengajak anaknya ke Gantole Gunung Gandul Wonogiri gitu sambil bawa golok. Sang ayah mau menyembelih sang anak karena kecintaannya pada Allah. Sang anak rela, sang ibu oke, sang ayah meskipun berat tetap tegar menjalankan perintah.
Apa kata polisi?
Apa kata masyarakat?
Apa kata media massa?
Apa kata komnas HAM?
Hahaha, pada kenyataannya manusia-manusia modern macam kita itu sulit memercayai urusan-urusan yang dianggap tidak masuk akal. Padahal masalahnya akal kita saja yang tidak nyampai. Dan hidup ini sebenarnya kerangkanya seperti apa. Apa cuma mengandalkan mata lahir saja? Atau sebenarnya perlu kombinasi mata lahir dan mata batin?
Bisakah kita memercayai bahwa di zaman ini ada orang yang bisa menerima hadits dan pengajaran langsung dari Rasulullah? Bisakah kita memercayai bahwa waliyullah tetap ada dan itu diwariskan secara estafet dengan cara yang tidak terpikirkan oleh logika modern ini? Bisakah kita menerima hal-hal yang sekilas terlihat bertentangan dengan syariat hanya karena cupetnya pengetahuan kita, sementara kita semua tahu bahwa ratusan ribu manuskrip ilmu umat Islam telah lenyap saat Baghdad dan Andalusia dihancurkan?
Saya cuma memancing diri saya sendiri dan siapa pun yang membaca postingan ini, sebesar apakah tingkat keimanan kita dan sepeka apakah pandangan mata batin kita. Wong ketika sekarang kita berusaha mengasah mata batin, siap-siap saja dicap pengikut aliran kebatinan. Jika kita memiliki cara pandang berbeda dengan umumnya manusia, dianggap nyeleneh. Dan secara mekanisme, pendapat yang ndewe gini tidak mungkin lolos menjadi kebijakan, wong kalah voting.
Coba yang beginian ini kita renung-renungkan. Biar kita itu tidak GR merasa sudah sangat dekat dan suci. Saking kemresiknya, lihat saudara kita beda paham dan beda cara berpakaian saja, sudah merasa sombong dan merendahkan. Padahal asline yo kita sama-sama tidak jelas nasibnya gini. Bahkan untuk mengimani fenomena-fenomena ciptaan Allah saja kita kesulitan. Membedakan mana iblis dan malaikat saja susah, buktinya setiap pemilu kita pasti ruwet.
Apa kita yakin shalat kita sudah berkualitas, doa kita sudah dikabulkan. Padahal salah satu syarat doa dikabulkan itu makanan, pakaian, dan apa yang melekat dari tubuh kita harus suci. Cek makanan kita, bisakah 100 % menjamin kehalalan dan kethayyibannya? Cek pakaian kita, apakah 100 % pakaian kita benar-benar layak disandang, tidak ada cerita penindasan di sebaliknya? Cek segala dalam diri kita? Yakin layak doanya dikabulkan oleh Allah. Yakin? Kita itu umat narsis, keseringan GR dengan banyak hal. Mungkin juga sering GR kalau disukai cewek (itu mah saya, hahaha).
Makanya kalau mau berendah hati, kita itu ya mending sering-sering bershalawat dan mengirim alfatihah pada para pendahulu kita yang shalih. Esensi shalawat itu ada pada rasa cinta yang mendalam, outputnya silahkan dalam kalimat yang indah maupun kreativitas yang tidak melampaui batas. Mengirim alfatihah itu esensi utamanya pada bagaimana kita berharap kecipratan doa-doa mereka di masa lampau. Saya yakin para pendahulu kita yang shalih pernah berdoa untuk kebaikan generasi-generasi Islam di masa setelah mereka, termasuk masa kita saat ini. Nah, rasa cinta kita kepada mereka semoga membuat Allah terharu melihat kita yang keponthalan bertahan di akhir zaman ini.
Kita hidup di situasi masyarakat yang tidak punya kerangka spiritual. Makanya tidak usah banyak bicara soal karamah atau hal-hal yang seperti itu, dari pada dicap mistik, sesat, atau apalah. Toh pengalaman spiritual itu bersifat pribadi dan yang penting kita selalu mengeluarkan output yang bermanfaat bagi sesama. Kita jalani kehidupan modern saat ini dengan tegar, wong kita sudah digariskan lahir di zaman ini. Ga bisa menawar lahir lebih dahulu. Cukup disyukuri saja, ternyata cahaya Islam sampai pada kita, jadi dijaga biar tidak lepas.
Juwiring, 28 Oktober 2016