Hehehe, kerasa kan kalau di zaman ini mengimani sesuatu hal itu butuh perjuangan berat. Ingat aja, di zaman jahiliyah, nabi adalah seseorang yang punya pendapat berbeda di antara kebanyakan orang. Barulah ketika dakwahnya membuahkan hasil, banyak orang tertarik untuk beriman.
Nah, sekarang posisi kita itu masih di zaman kemenangan dakwah macam itu atau di titik nadir kejahiliyahan? Analisislah dengan sungguh-sungguh dua hal itu. Karena keduanya sangat bertolak belakang, jadi tinggal kita lihat mana yang lebih mendominasi kehidupan kita saat ini.
Kalau kita menganggap ini di era kemenangan dakwah, maka bolehlah kita percaya sembarang orang ngomong apa pun soal Islam, karena belum ada fitnah. Sedangkan kalau kita melihat ini adalah era kejahiliyahan, dapatkah kita menemukan satu orang dua orang yang pandangannya waras di antara lautan pandangan gendeng.
Nah bukankah keputusan kita ngaji, percaya ini itu, diawali dari asumsi dasar kita belajar. Termasuk lahirnya berbagai bentuk fanatisme golongan juga berangkat dari asumsi semacam ini. Bahkan sampai bertengkar dan mengecap sesat satu sama lain. Yakin perjalanan kita sudah final sebelum mati.
Ingatlah, kita dulu janji sama Allah sendirian, di rahim sendirian, dilahirkan dan hidup saat ini meskipun bersama-sama manusia lainnya tanggung jawab akhirnya sendiri-sendiri, nanti pas di alam kubur juga bakal menghadapi kenyataan sendirian, pas di akhirat juga bakal mendapatkan balasan sendirian, meskipun bagi orang-orang beriman ada beberapa keistimewaan.
Di tengah kehidupan yang fasad semacam ini, yakin masih punya pahala? Kalau saya kok ga se-GR itu ya. Saya itu dapat pengampunan yang membuat saya selamat dan kebagian sepercik cinta-Nya saja sudah bahagia. Kalau seandainya Allah bikinin semacam kontrakan pra syurga, besok dikoskan di situ pun saya rela. Pokokmen sing penting Allah tidak marah sudah cukup. Soal syurga gampanglah, aku ga se-GR itu, pokokmen nguyak Gusti Allah ora duka, kuwi wis pol-polan.
Juwiring, 27 Oktober 2016