Saya pernah belajar agama bersama kelompok yang mengaku anti budaya (maksudnya anti budaya Jawa) dan dengan gencar mempromosikan budaya Arab. Dan bias pemahaman mereka soal kebudayaan semacam ini sangat fatal akibatnya di masa ini karena menimbulkan berbagai benturan sosial yang parah. Padahal seharusnya agama adalah kerangka budaya. Agama lebih luas dan ia melingkupi semua hal dalam kehidupan kita. Ngising pun tidak akan lepas dari perkara agama.

Pembenturan agama dengan budaya adalah keputusasaan dari orang yang kalah bersaing dengan budaya lain atau malas berpikir. Misalnya soal ajaran Islam menutup aurat, maka pembuatan aneka model pakaian adalah kerja kebudayaan. Bagaimana bisa dibilang bahwa jubah lebih syar’i dari pada surjan atau kemeja? Karena Nabi memakai? Ya iyalah beliau tinggal di Padang Pasir, coba beliau diutusnya kepada bangsa Jawa, apa kebudayaan yang timbul adalah kebudayaan jubah. Di hadits lain pun beliau menasihati kita untuk berpakaian menurut adat sekitar.

Berikutnya ajaran Islam soal pendirian masjid, ini juga sangat menarik. Dalam prakteknya di masa Rasulullah, masjid adalah pusat kebudayaan manusia. Artinya dalam suatu wilayah, tidak ada rumah tidak masalah asal ada masjid. Karena masjid bisa berfungsi macam-macam, termasuk bertempat tinggal bagi yang belum punya tempat tinggal. Sekarang kita ribut dengan istilah mushola, langgar, surau, dll. Polemik fikihnya sampai ke soal shalat Jumat boleh tidak di mushola. Hahaha. Modyar dhewe. Padahal inti shalat Jumat juga sama seperti masjid, sarana apel raksasa umat Islam di suatu wilayah setiap pekan. Untuk apel lokal sudah diwujudkan dengan shalat berjamaah lima waktu setiap hari.

Masih soal masjid, narasinya menjadi ruwet ketika masjid menjadi bagian dari sebuah peradaban baru. Sebut saja peradaban kapitalisme. Ketika orang bikin pom bensin, dibangun juga mushola. Orang bikin mall, dibangun juga mushola. Dan orang bikin aneka tempat, dibangun juga mushola. Secara prinsip, ini sebenarnya bertentangan dengan konsep pembangunan peradaban Islam. Tetapi di sisi kebutuhan ini penting sekaligus menunjukkan bahwa mau diberangus kayak bagaimana pun, eksistensi Islam tidak bakal bisa dirusak ketika sudah terlanjur mewarnai sebuah peradaban. Paling banter Anda cuma bisa menyingkirkan Islam agar para pengikutnya minder dan keimanan mereka luntur dalam kemunafikan. Tapi menghapuskan Islam dari muka bumi, tidak bakal bisa.

Hal konyol lagi soal masjid adalah mengenai tata arsitekturalnya. Seolah-olah menjadi keyakinan publik bahwa masjid yang Islami itu adalah yang berkubah. Padahal jika merujuk pada bentuk masjid di zaman Rasulullah, masjid tidak lebih dari sebuah tempat yang dibatasi pagar dengan mimbar di bagian depan yang memungkinkan setiap orang dapat berkumpul pada waktu-waktu yang diperlukan, seperti waktu shalat atau saat ada panggilan khusus. Tapi lihat saja perdebatan orang sekarang, betapa repotnya umat Islam membangun masjid entah soal desain maupun biayanya yang besar. Dan konyolnya, umat Islam di Indonesia saat ini begitu terobsesinya membuat desain masjid dengan gaya Arab. Padahal masjid di Arab sendiri, kubahnya mengadopsi gereja Kristen Ortodoks, menaranya mengadopsi dari Persia, dan permadaninya mengadopsi dari Tiongkok. Koplak sekali kan.

Itulah mengapa juru dakwah yang sebenarnya dibutuhkan umat manusia saat ini bukan yang suka ndalili umat pakai ayat-ayat secara eksplisit. Tapi yang bisa mengemas ayat-ayat tersebut menjadi kreativitas kebudayaan dan produk pengetahuan. Karena yang harus dibangun adalah kehidupan yang benar-benar berakar dengan nilai-nilai Islam, bukan kehidupan yang dari tampak luarnya seolah-olah tampak Islami. Padahal yang tampak Islami itu tidak lebih dari kerja kebudayaan saja, yang dianggap Islami.

Membangun kebudayaan Islam itu adalah penggalian mendasar dari sari pati al Quran dan teladan kehidupan para salaf, terutama secara metodologi. Kebudayaan itu seharusnya bagian dari narasi besar agama dalam memberadabkan manusia, bukan sesuatu yang dipertentangkan seperti sekarang. Dan yang sekarang sering disebut budaya, itu kan sebenarnya tradisi yang diwariskan nenek moyang. Yang namanya tradisi, kalau bertentangan dengan Islam, ya perlu dibangun kebudayaan baru yang lebih tepat dan sesuai dengan lingkungan alam kita. Bukan malah impor tradisi luar dipaksakan di dalam masyarakat kita, lalu dilabeli Islami. Kuwi jenenge dodolan. Dan saat ini jumlah agen penjual tradisi semacam itu banyak sekali.

Tentu saja kerja semacam ini butuh pemikiran yang dalam dan berat. Ya memang harusnya begitu jika mengaku sebagai agen perubahan. Kalau pekerjaan semacam ini mudah, tentu Allah tidak perlu repot-repot mengutus para Nabi dan Rasul, karena semua manusia bisa. Dan Allah kurang sayang apa lagi coba ketika melihat manusia tersesat, Dia kirim banyak guru dan utusan. Bukankah manusia itu secara defaultnya itu sudah mampu membangun peradaban yang benar seandainya tidak menuruti nafsunya dan bisikan iblis? Tapi seiring waktu, manusia makin bodoh, sehingga pada puncak kebodohan zaman, Allah sampai merumuskan pedoman hidup terlengkap sepanjang sejarah manusia bernama al Quran.

Salah satu guru bangsa mengatakan bahwa al Quran itu ibaratnya masterpiece yang “terpaksa” Allah buat karena manusia sudah tidak mampu hidup sebagai layaknya manusia. Sehingga mereka harus diberi pedoman yang lengkap dan dikirimi juga petugas tutorial yang sempurna, Nabi Muhammad. Nah, udah diberi petunjuk sekeren itu, ternyata hari ini kita masih ribut melulu dan bertengkar pada perkara-perkara yang lucu dan tidak penting. Memang benar, betapa bodohnya kita. Terlahir di generasi yang sudah sangat jauh jaraknya dengan Nabi Muhammad membuat kita terancam idiot secara peradaban. Alangkah malunya saya kepada Nabi Muhammad. Maafkan saya ya Nabi karena masih begitu bodoh. Kitab yang kau wariskan belum ada seipritnya kami amalkan. Maafkan kami ya Nabi. Dan ampuni kami ya Allah.

Juwiring, 24 September 2016

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.