Tulisan satire sering diklaim berlebihan dan tidak masuk akal, tapi efektif untuk menyindir mereka yang masih punya perasaan dan nalarnya masih jalan. Jika tulisan satire dipahami dengan bahasa akademik yang kaku ya akan disalahkan.

Misalnya A. A. Navis menulis cerpen Robohnya Surau Kami yang sangat disukai Heriyanto. Beliau membuat dialog dalam cerpennya antara Allah dengan para orang Indonesia yang di dunianya berlaku sholeh tetapi abai terhadap nasib rakyat, sehingga mereka tidak layak masuk syurga. Dialog semacam ini jelas secara akademik jika ditelisik dengan ilmu fikih maupun mustholah hadits ya bakal disebutkan sebagai dialog mursal dong.

Kita sering menganggap bahwa bahasa itu sekedar bahasa dalam arti identitas negara dan budaya, padahal dalam berbahasa itu ada bahasa sastra, bahasa akademik ilmiah, ada bahasa tubuh, ada bahasa politik, ada bahasa ekonomi, dll. Dan seringkali kita membaca tulisan politik dengan bahasa akadmik, membaca tulisan sastra juga dengan bahasa akademik. Problemnya kita mengalami ketidakmampuan identifikasi. Dikiranya semua benda itu batu, padahal ada kerikil, ada pasir, ada pulpen, pensil dll.

Dan menurut penjelasan guru saya yang lebih memahami bahasa Arab, isinya al Quran itu satire-satire tingkat tinggi. Tapi karena memang kita bahasa Arab tidak paham, apalagi uslub-uslubnya tidak nyanthol ya sekalipun dibacakan murottal mulai dari Syaikh Abdurrahman Sudais hingga dedek keren Muhammad Thaha al Junayd sekalipun yo ra dong. Sebagaimana kita menasihati kucing, pasti dijawab “ngeong-ngeong”. Nah kira-kira kita itu mirip kucing sekarang kalau pas mendengar bacaan murottal al Quran. Bedanya kalau kucing tidak merasa paham apa-apa, kalau kita kaya-kaya luwih ngerti al Quran tinimbang kanjeng Nabi, akhire nek ana kancane duwe pendapat beda, ndang dimusuhi habis-habisan.

Juwiring, 21 Agustus 2016

Tinggalkan Balasan

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.