Pernahkah kita berimajinasi bagaimana pengakuan manusia kepada manusia yang lain sebelum muncul dua kartu sakti yang bernama IJAZAH dan KTP?

Setahu saya, lembaga pendidkan sudah ada sejak dulu. Tetapi pemilik otoritas dari lembaga pendidikan itu ya pada gurunya, bukan lembaganya, apalagi pemerintah yang berkuasa. Proses IJAZAH itu sebenarnya juga ada, tetapi bukan IJAZAH berwujud kertas seperti zaman sekarang. IJAZAH adalah tanda pewarisan ilmu dari guru ke murid yang biasanya dalam bentuk pesan wasiat, kitab, atau benda-benda yang mendukung untuk aktivitas kehidupan si murid (misalnya tongkat, senjata, dll).

Lalu bagaimana masyarakat mengakui bahwa si A itu hebat, si B itu pakar? Apa si A dan B bilang kepada masyarakat, “Heh, dengerin aku nih ya, aku adalah pakar Anu”. Saya kira tidak demikian. Imam Syafii juga tidak mungkin bilang kepada masyarakat bahwa dirinya adalah pakar ushul fikih dan imam madzhab. Jadi, apa yang membuat orang-orang hebat ini dikenal. Menurut saya, ya karena mereka memang membuktikan bahwa mereka hebat dengan tindakan nyata. Mereka terus fokus bekerja dan bermanfaat untuk manusia lainnya, sehingga pengakuan itu lahir. Orang-orang hebat ini barangkali sampai wafatnya pun tidak merasa sebagai apa-apa, pokoknya kerja kerja kerja dan menghasilkan karya.

Tapi mengapa di zaman ini, setelah ada anu, eh IJAZAH maksudnya, manusia memilih cara praktis mengenali seseorang dengan selembar kertas itu? Berarti ada perubahan mendasar dalam kebudayaan manusia. Dari yang awalnya manusia itu berusaha mengenal manusia lainnya sebagai manusia, sekarang manusia lebih percaya pada benda-benda yang menyatakan status seseorang. Bukan sebagai manusia, tetapi sebagai sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan pihak lain.

Termasuk ketika berbicara tentang sesuatu hal. Sekarang kita pasti tidak sabaran untuk mendengarkan pendapat orang lain, apalagi jika menurut kita orang tersebut “tidak berkualifikasi di bidangnya”. Mengapa dianggap tidak berkualifikasi? Karena tidak memiliki IJAZAH di bidang itu. Seorang tukang kayu yang bicara tentang pendidikan, sering dipandang sebelah mata dan kebanyakan mata tertuju pada pernyataan profesor di bidang pendidikan. Padahal hak setiap manusia berpendapat ya didengarkan dan dicerna dahulu sampai Allah memberikan petunjuk dalam hati atas pendapat-pendapat itu.

Untuk soal IJAZAH ini kita mengalami pergesaran paradigma dari yang semula induktif menjadi deduktif. Artinya, jika zaman dahulu seseorang diakui kehebatannya karena kiprahnya yang besar pada kehidupan manusia, sementara hari ini kita dengan mudahnya menggelari sesorang hebat itu hanya gara-gara dari pernyataannya karena dia bertitel profesor. Konsekuensinya tentu juga berbeda, ketika manusia masih menggelari manusia lain dengan cara induktif maka pencitraan dan berbagai manipulasi susah dilakukan, karena gelar itu butuh bukti dan kerja keras yang nyata. Sementara dengan metode deduktif seperti sekarang, orang awam dilingkupi prasangka dan premis awal bahwa perkataan orang yang bertitel keren itu pasti benar, sehingga orang-orang awam akan mudah menelan mentah-mentah perkataan dari orang-orang pintar tanpa berpikir. Akibatnya, tahu sendiri lah, tidak perlu saya jelaskan panjang lebar.

Yang kedua adalah soal KTP, terutama menyangkut kolom agama. Sebelum ada KTP, lebih khusus lagi kolom agama di dalamnya, bagaimana masyarakat dahulu mengenal keyakinan mereka satu sama lain? Kira-kira yang terpenting dari kehidupan masyarakat ketika itu apa, pada urusan status agamanya apa atau pada pengamalannya agamanya seperti apa? Apa sepelik sekarang yang apa-apa ditanyakan labelmu apa dulu, baru kita putuskan berteman apa nggak. Seperti itukah cara hidup bersosial manusia sebelum era KTP?

Saya kok berpikir bahwa kehidupan sebelum era KTP atau sejenisnya, manusia akan sangat memperhatikan perilaku manusia lainnya, terutama pada akhlak utamanya, misalnya kejujuran, sikap aman dan mengamankan, kesetiaan, dan hal-hal yang sifatnya bermanfaat secara komunal. Sehingga para ulama pun ketika mendakwahkan Islam di Nusantara, yang di-Islam-kan pertama-tama adalah kebudayaannya, tanpa harus dilabeli kebudayaan Islam.

Misalnya di tanah Jawa, para wali melakukan perombakan besar-besaran pada berbagai perangkat kebudayaan masyarakat Jawa yang semula menganut ajaran Hindu Budha. Misalnya secara teologis, wali songo memasukkan Semar dan punakawan lain sehingga dalam cerita-cerita wayang yang berkaitan dengan kehidupan para Dewa, terjadi desakralisasi. Dirombak pula tata kebudayaan dan kehidupan para satria di kisah wayang. Bahkan disambung-sambungkan sedemikian kisah-kisah wayang itu sehingga lebih menjadi sebuah kita pelajaran hidup.

Tak hanya itu, pementasan wayang yang semula adalah bentuk peribadatan, diubah menjadi ajang perjumpaan khalayak ramai dengan pertunjukan wayang dari kulit yang desainnya sudah dirubah total di mana jika para ksatria pasti menggunakan jari telunjuk sebagai perlambang tauhid dan raksasa pasti menggunakan tiga jari lambang iblis (jempol, telunjuk, kelingking). Wayang menjadi sarana “pengajian” tanpa harus eksplisit dijelaskan ini adalah pengajian Islam. Karena yang terpenting adalah masyarakat menjalankan laku Islam, dan secara perlahan-lahan nanti mereka akan sadar sendiri untuk menyatakan syahadat.

Nah, bagaimana dengan era KTP seperti sekarang, terlebih ketika ada kolom agama. Kita sering menjumpai polemik serius berkaitan dengan KTP ini. Karena ada KTP, kita sekarang melihat ke-Islam-an seseorang itu lebih fokus pada KTP, bukan pada perilakunya. Kita pun menganggap bahwa ke-Islam-an itu sesuatu yang paten. Artinya kalau sudah syahadat (padahal siapa menjamin lisan yang bersyahadat itu hatinya pasti bersyahadat) kita memastikan seseorang bahwa dia masuk syurga. Sementara orang-orang yang saat ini belum bersyahadat (karena kita tidak tahu) dan ber-KTP non muslim, kita lantas memastikan bahwa dia masuk neraka. Sungguh lucu sekali, karena kita justru mencoba mengambil alih kedudukan Allah sebagai Rabb dan Ilaah.

Maka keributan pun terjadi ketika orang yang ber-KTP dengan kolom agama Islam melakukan skandal-skandal kejahatan yang luar biasa. Bahkan tidak hanya itu, orang-orang yang disinyalir melakukan ini, dengan rasa percaya diri tetap bertamu ke Baitullah, tetap menyumbang pembangunan masjid, dan tetap menyantuni anak yatim. Karena kita semua bermindset KTP-isme, maka kita lagi memiliki filter kebudayaan untuk memutuskan manusia jenis ini masih muslim apa tidak. Sementara di sisi lain, kita diuji dengan hadirnya tokoh-tokoh baik yang juga berkontribusi dalam kehidupan sosial kemanusiaan, namun KTP-nya pada kolom agama tidak tertulis sebagai Islam. Hayo gimana?

Lebih rumit lagi ketika konsep IJAZAH gaya baru bikinan universitas modern ini bertemu dengan KTP bikinan pemerintah. Akhirnya pemerintah yang dulu mokal dengan bikin-bikin peraturan selucu itu, sekarang pusing sendiri menghadapi realitanya. Sementara karena masyarakat sudah kehilangan kebudayaan asli manusianya, mereka terlanjur terbalik cara berpikirnya sehingga juga beriman pada pemerintah. Pemerintah yang bingung menyelesaikan urusannya yang rumit ini, pegawai-pegawainya sebagian besar juga memilih cari enak dan cari amannya saja. Jadilah kita menjadi kumpulan bersama yang sedang menuju titik kehancuran. Sebagian kecil sadar bahwa kita sedang menuju ke titik kemunduran peradaban, sehingga tetap ubet dan berupaya menghindari kehancuran itu. Sebagian besar justru bersorak-sorak menuju zaman kehancuran yang dikiranya modern dan penuh kemajuan.

Inilah titik kesadaran yang membuat saya kembali bahwa nilai manusia itu setinggi-tingginya karunia Allah. Allah telah memuliakan makhluk yang satu ini dengan gelar manusia. Dia pun menunjukkan Islam sebagai panduan yang semestinya dipilih, meskipun Dia berikan kebebasan juga untuk mengingkari. Tapi yang jelas memilih atau mengingkari itu tidak lantas menjadi sebab untuk saling membunuh. Karena hukuman bunuh, potong tangan, dan rajam itu sudah ada aturannya. Dan pada kehidupan manusia normal, hukuman semacam itu pasti jarang dilakukan jika mereka masih percaya bahwa gelar manusia itu lebih tinggi dari gelar apa pun yang dibikin manusia.

Maka insya Allah kita akan menjaga lisan kita dari menyebut di depan orangnya sebagai koruptor, maling dll karena yang namanya koruptor adalah orang yang sedang berbuat korupsi, jika sudah tidak korupsi karena berhenti atau ditangkap status korupstornya lepas, dia kembali menjadi manusia. Pun demikian pada perkara haji, jika dia sudah menunaikan ibadah haji dan pulang ke tanah airnya, ya statusnya sebagai haji otomatis lepas, dan dia kembali menjadi manusia.

Zaman sebelum ada anu, manusia itu masih banyak. Sekarang? Terkadang banyak manusia yang tidak percaya diri dengan status manusianya. Dicarilah segala label untuk membuatnya percaya diri sebagai makhluk yang (mungkin) bukan manusia.

Juwiring, 8 September 2016

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.