Di usia 26 tahun ini saya mencoba menggali ingatan tentang kehidupan desa. Masih jelas proses-proses alami yang kulalui hingga mengalami modifikasi setelah melalui dialektika pemahaman sekolah hingga kuliah yang bisa dikatakan 100% urban minded, alhamdulillah tidak tergerus oleh cara berpikir itu secara keseluruhan.

Meskipun ini bukan kesimpulan final, tapi saya berani mengatakan bahwa institusi sekolah yang diatur terlalu ketat dan seragam oleh pemerintah, lalu sekarang diperkaya aneka warna kebudayaan asing yang tidak diseleksi dan diadaptasi sesuai alam berpikir masyarakat kita, telah menghancurkan pola pikir, kebudayaan, dan daya saing generasi bangsa kita.

Untung saja satu dua putra bangsa Indonesia masih mampu menjadi orang-orang hebat di seluruh penjuru dunia dengan tetap menunjukkan keluhuran budaya Nusantara. Tapi situasi pendidikan dalam negeri kita semakin darurat dari waktu ke waktu karena makin mengurban dan mencabut dirinya dari alam kebudayaannya sendiri.

Anehnya, ini tidak dianggap masalah serius oleh institusi pendidikan tinggi yang konon memiliki banyak orang pintar. Yang jago sains sibuk mengcopas sains2 Barat sambil memojokkan warisan sains leluhur sendiri, yang jago sosial sibuk dengan teori-teori koplak seperti feminisme, LGBT, HAM, sekularisme dll. Termasuk juga membawa model pertengkaran kelompok agama di Timur Tengah ke masyarakat dan secara tidak langsung menjadi racun sosial baru bagi masyarakat kita.

Orang-orang kota (termasuk orang desa yang menjadi orang kota) terlalu sombong dengan kemampuan ekonominya. Padahal krisis di NKRI ini dapat teredam cukup efektif karena stabilitas ekonomi masyarakat desanya. Tapi, tetap saja, keangkuhan sosial itu terus mewujud. Sampai-sampai mahasiswa itu merasa lebih tahu soal desa di banding masyarakat tempatnya KKN. Itu kekonyolan yang tidak lucu untuk ditertawakan, lebih pantas untuk dipisuhi.

Wonogiri, 21 Agustus 2016

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.