Soal logika-logika yang diutarakan dr. Zakir Naik itu mungkin ada yang tidak setuju, sah-sah saja. Tapi kalau nyinyirnya pada beliau sampai kebablasan saya rasa yang nyinyir sedang dikuasai kebencian. Beliau dikaruniai kemampuan untuk memiliki hafalan yang di atas rata-rata sehingga mampu memberi argumen atas banyak hal yang ditanyakan orang-orang.
Dan jika lewat penjelasan beliau ada sebagian yang bersyahadat, bukankah itu adalah hal yang baik. Ada banyak jalan orang menemukan Islam, dan dr. Zakir Naik boleh jadi salah satu wasilahnya, kenapa nyinyir. Mending kita lakukan hal yang berguna, siapa tahu kita juga jadi jalan seperti beliau lewat bentuk yang lain, mungkin seni, kajian sejarah dan kebudayaan, atau apa pun.
Ada yang setuju dialog antar iman digelar, ada juga yang tidak. Tapi satu hal, jangan berhenti belajar dan mempertanyakan hal-hal yang meragukan dalam perjalanan keyakinan kita. Ini berlaku untuk semua, yang jadi muslim karena pewarisan tak kalah berat tugasnya. Jangan-jangan selama ini ke-Islam-an kita hanya formalitas, umume ngono, apalagi Indonesia mayoritas muslim, memilih jadi muslim ben gampang meraih berbagai fasilitas “macul”.
Bagaimana pun, saya lebih hormat pada mereka yang memilih beragama karena proses belajar tanpa henti. Jika hari ini belum sampai pada Islam, semoga nanti diperjumpakan dengan indah oleh-Nya. Jangan GR banget lah merasa jadi muslim merga bapak-ibu kita muslim, kolom agama KTP kita Islam. Keimanan dan ke-Islam-an itu kualitatif, ia kembali pada penilaian Allah, bukan semata-mata pengakuan dari manusia.
Jadi sebaiknya kita hindari kenyinyiran sekaligus rasa sombong merasa paling Islam sehingga enggan belajar dan bertanya. Besok saja kalau sudah mati, kita lihat hasilnya bagaimana. Sekarang itu pokoknya ya belajar terus, dan berusaha srawung yang baik dengan sesama manusia. Ga usah merasa sok suci di hadapan saudara kita yang non-muslim, wong kita juga belum finish kok. Sesama pejuang, jangan memberi rapor lainnya.
Juwiring, 3 April 2017